Diplomasi Twitter : Peluang atau Bencana Era Diplomasi Digital?

  • Jul 22, 2021
  • /
  • Opini
  • /
  • Admin
  • 1804

Pada abad ke-15 Kerajaan Inggris berusaha mendapatkan hati rakyat Prancis untuk meyakinkan bahwa Raja mereka yang sah adalah Henry VI, anak dari Raja Inggris Henry V yang menikah dengan Ratu Perancis (Manor, Ilan 2019). Kesulitan untuk mengirim utusan dan melakukan praktik diplomasi, Kerajaan Inggris mencari cara untuk bisa menyebarkan informasi kepada rakyat Prancis. Untuk mengatasi krisis legitimasi tersebut, Kerajaan Inggris meluncurkan sebuah kampanye diplomasi. Diplomasi ini dilakukan melalui kain-kain tapestries atau kain bergambar yang dipajang di pasar dan balai kota tempat masyarakat Prancis berkumpul. Kain-kain bergambar ini dipasang di tempat di mana setiap lapisan masyarakat prancis dapat melihatnya.


Dengan kata lain, jauh bahkan sebelum internet dan lembaga internasional ditemukan, para aktor diplomasi telah berpikir ulang dan mencari cara baru dalam melakukan praktik diplomasi. Praktik diplomasi konvensional yang selama ini dilakukan dengan mengirim diplomat utusan kerajaan, dinilai tidak efektif dan memakan biaya besar. Kain-kain permadani yang digunakan Kerajaan Inggris dalam melakukan Praktik diplomasinya dapat kita analogikan sebagai teknologi yang mengatasi keterbatasan praktik diplomasi konvensional. Sama halnya dengan diplomat-diplomat dunia saat ini yang menggunakan teknologi, terkhususnya tekonologi digital. Ketika Algoritma semakin digunakan untuk menentukan nasib masyarakat digital, big data menjadi bagian besar dari kehidupan manusia di abad ke-21. Ketika konser hingga perang yang dilakukan jarak jauh menggunakan drone sukses dilakukan, mengapa diplomasi tidak?


Saat ini, diplomasi masih bertumpu pada kedekatan. Atase pers membina hubungan kerja yang erat dengan jurnalis berpengaruh, duta besar untuk forum multilateral menciptakan koalisi dengan rekan-rekan mereka, dan petugas diplomasi publik bekerja bersama para pemimpin diaspora. Dengan demikian, diplomasi jarak jauh merupakan antitesis hubungan tradisional diplomasi dengan ruang (Bjola, 2015). Saat keterpencilan menggantikan kedekatan, penonton diplomasi perlahan menghilang dari pandangan., Israel meluncurkan kedutaan Twitter dan Palestina meresmikan akun twitter Palestine in Hebrew.


Teknologi digital memungkinkan diplomat melakukan praktik diplomasi di tempat yang semakin jauh. Jika permadani berhasil menjadi instrumen diplomasi efektif yang menyentuh setiap lapisan masyarakat suatu negara, maka tweet dan unggahan Instagram juga pasti memiliki pengaruh yang sama. Kerajaan Inggris menyusun strategi dengan memajang permadani-permadani di tempat yang dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, sama hal nya dengan Kementerian Luar Negeri negara-negara saat ini yang menggunakan media sosial agar bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Maraknya penggunaan twitter oleh para aktor hubungan internasional dalam merefleksikan kebijakan luar negerinya menghasilkan suatu istilah baru, yakni Diplomasi Twitter. Mengapa Twitter? Sama halnya dengan kain permadani yang dipajang di pasar-pasar, Twitter adalah platform yang dapat menjangkau semua orang. Alasannya adalah kemampuan penjangkauan yang ditargetkan yang ditawarkan Twitter. Aktivitas Twitter sering ditandai dengan kehadiran dan prevalensi hashtag (#), yang memungkinkan pengguna untuk 'menandai' posting mereka ke percakapan yang lebih luas (LSE, 2020). Oleh karena itu, Twitter memungkinkan aktor hubungan internasional untuk menjangkau audiens internasional (basis pengguna Twitter) dengan cepat dan efektif. Dengan memanfaatkan hashtag dalam pesan yang dikeluarkannya, negara dan kementerian luar negeri memastikan bahwa pengguna Twitter lainnya akan dapat melihat pesan yang dikeluarkan oleh akunnya ketika mereka mencari hashtag tersebut.


Dalam beberapa waktu terakhir, Twitter telah digunakan sebagai platform multifungsi. Mulai dari hiburan hingga urusan kebijakan publik hingga politik luar negeri. Penggunaan twitter dalam praktik diplomasi saat ini telah menjadi dimensi dari digitalisasi hubungan internasional kontemporer. Media sosial, terutama Twitter, mewakili salah satu saluran komunikasi terpenting di dunia (Choo & Park, 2011) dan para diplomat telah memperhatikan kemampuan mereka. Sejak diluncurkan pada tahun 2006, Twitter telah menjadi salah satu situs web yang paling banyak dikunjungi di Internet dan organisasi pemerintah di seluruh dunia telah membuat akun Twitter untuk mempromosikan kebijakan mereka (Choo & Park, 2011) Hingga akhirnya Twitter sebagai platform sosial media yang hampir digunakan seluruh masyarakat internasional telah menciptakan bentuk dari diplomasi publiknya sendiri. Jelas, media sosial dapat memberikan pemerintah sebuah ‘jalur belakang’ bagi masyarakat dan memperkuat hubungan dengan publik; sama jelasnya, kemampuan interaktif mereka memberikan peluang untuk bisa mempromosikan objektif kepentingan negara. Demi mengatasi suatu keterbatasan yang ada dalam praktik diplomasi publik konvensional, digitalisasi praktik diplomasi telah berkembang dari waktu ke waktu. Twitter diplomacy atau yang sering disebut dengan Twiplomacy, seakan-akan membuat suatu irisan antara praktik diplomasi konvensional dan digitalisasi diplomasi kontemporer.

Image: Source


Salah satu bukti nyata dari munculnya twiplomacy adalah kedutaan besar virtual Israel yang diluncurkan oleh Kementerian Luar Negeri Israel pada 21 Juli 2013. Akun twitter ini dibuat dengan maksud untuk membina hubungan antara diplomat-diplomat Israel dan penduduk enam negara teluk. Keenam negara teluk tersebut di antara lain adalah Bahrain, Kuwait, Oman, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar yakni negara yang belum mengakui Israel secara resmi. Melalui akun twitter Kedutaan Besar Israel telah memfasilitasi dialog dengan pengguna twitter Arab dan muslim mengenai isu tertentu yang menyangkut negara Israel. Isu tersebut tidak lain adalah bisnis, sains, politik, dan isu-isu popular masyarakat sipil. Akun twitter kedutaan Israel juga telah mengundang banyak pengguna twitter untuk ikut serta dalam sesi tanya jawab secara daring dengan pemimpin Israel, termasuk presiden hingga perdana menteri Israel. Selain itu, untuk bisa mengambil hati para pengguna twitter muslim yang berada di dalam enam negara yang sebelumnya telah disebutkan, Israel seringkali membagikan pesan dan gambar berisi kata-kata baik dari para pemimpin Israel. Salah satunya adalah mengucapkan selamat berbulan puasa dan hari lebaran kepada seluruh umat Islam di dunia. Akun twitter yang dimiliki oleh Israel merupakan salah satu kasus kontemporer dari penggunaan twitter dalam diplomasi publik. Israel kesulitan untuk menjangkau penduduk dari negara yang belum mengakui Israel secara resmi, sehingga Israel mencari jalan keluar untuk bisa berinteraksi secara langsung dengan penduduk negara tersebut. Hingga munculah ide diplomasi twitter yang menghancurkan tembok penghalang antara Israel dan penduduk negara-negara teluk tersebut. Peristiwa ini sangat logis untuk dikaitkan dengan permasalahan dalam keterbatasan praktik diplomasi publik yang sebelumnya telah terjadi di abad ke-15. Kerajaan Inggris kesulitan untuk menjangkau masyarakat Prancis, Pemerintah Israel kesulitan untuk menjangkau masyarakat negara-negara teluk.


Selain itu, salah satu contoh fenomena diplomasi twitter adalah China yang menggunakan Twitter untuk melakukan diplomasi publik mengenai COVID-19. Kementerian Luar Negeri China menggunakan Twitter sebagai alat untuk memantau dan mengukur opini masyarakat internasional (LSE, 2020). Twitter berfungsi sebagai platform bagi diplomat China untuk secara langsung memantau dan mengukur opini publik asing terhadapnya. Mempertimbangkan bahwa sumber media mainstream memakan waktu yang jauh lebih lama dibandingkan dengan platform media sosial seperti Twitter, edukasi dan diplomasi yang dapat diberikan oleh Twitter sangat berharga dalam mengontrol opini publik, terutama dalam hal peristiwa yang berkembang pesat seperti pandemi COVID-19.


Digitalisasi teknologi mengubah gaya dari praktik diplomasi. Dari diplomasi konvensional, menjadi praktik diplomasi digital dengan bantuan data dan teknologi. Hampir seluruh aspek kehidupan kita saat ini bertransformasi ke dalam dunia digital. Internet menjadi bagian penting baik dalam aspek kehidupan sehari-hari hingga badan pemerintahan. Media sosial saat ini tentunya memainkan peran besar dalam praktik diplomasi. Negara modern tidak hanya dibangun di atas kekuatan ekonomi dan kekayaan negara, namun juga pada kapasitas mereka untuk menggunakan perkembangan baru di dunia komunikasi, salah satunya adalah media sosial yang tentunya untuk menjalankan fungsi diplomatik. Di era digital, Twitter telah terbukti menjadi alat soft power yang hebat dengan menyediakan saluran komunikasi dan dialog langsung antara diplomat dan warga negara untuk membebaskan diri dari praktik birokrasi yang rumit. Selama beberapa tahun terakhir, Twitter dan platform media sosial lainnya telah berperan dalam meningkatkan—atau merusak—persepsi publik tentang politisi (Chabbra, 2020).


Dari banyaknya peluang dari penggunaan twitter yang telah dipaparkan di atas, twiplomacy tentu memiliki tantangan tersendiri. Hal ini menjadi krusial karena informasi yang ada di twitter bisa sangat cepat tersebar, sehingga jika terjadi kesalahan publikasi yang dilakukan Kementerian Luar Negeri suatu negara akan menimbulkan masalah baru. Jelas, media sosial dapat memberikan pemerintah sebuah “pintu” bagi khalayak baru dan memperkuat hubungan dengan publik; sama jelasnya, kemampuan interaktif mereka yang tidak terbatas menciptakan potensi dialog yang tidak diinginkan (Sobel, Riffe, Heste, 2016) Ketika karyawan kedutaan membuat dialog konfrontatif, seperti dalam kasus Kedutaan Besar Kairo di Twitter, unggahan tidak sengaja dapat disalah artikan sebagai kebijakan resmi Kementerian Luar Negeri, dengan dampak diplomatik yang serius.

Image: Source


Twitter telah memainkan peran dalam fungsi diplomatik mulai dari komunikasi dengan warga negara dalam dan luar negeri, mekanisme respons krisis, dan penjangkauan diaspora yang luas. Sebagian besar platform media sosial secara umum juga memiliki pengaruh dalam memproyeksikan soft power kepada dunia. Interaksi di antara diplomat dan pemimpin dari berbagai negara bertindak sebagai ‘lobby awal’ dari negosiasi resmi, sehingga membantu membangun hubungan bilateral dan multilateral (Chabbra, 2020) . Seperti Donald Trump yang sering sekali mengunggah tweet tentang pertemuan-pertemuan diplomatik yang ia lakukan. Twiplomacy menawarkan platform untuk dialog, yang menantang konsepsi tradisional komunikasi antara diplomat melalui saluran formal. Namun meskipun begitu, diplomasi publik yang dilakukan melalui Twitter memiliki banyak tantangan, mulai dari maraknya fenomena disinformasi hingga privasi data yang bisa mengancam Kementerian Luar Negeri. Meskipun begitu, Diplomasi Twitter tetap menjadi sebuah peluang baru para diplomat dalam mengatasi keterbatasan praktik diplomasi tradisional di era Digital.


Referensi
Manor, I. (2019). The digitalization of public diplomacy. New York: Springer International Publishing. Diakses dari https://link.springer.com/book/10.1007%2F978-3-030-04405-3


Bjola, C., Cassidyb, J., & Manorc, I. (2019). Public Diplomacy in the Digital Age. Diakses dari https://www.researchgate.net/profile/Corneliu-Bjola/publication/332636062_Public_Diplomacy_in_the_Digital_Age/links/5cc215bda6fdcc1d49aefaac/Public-Diplomacy-in-the-Digital-Age.pdf


Chabra, R. (2020) ‘Twitter Diplomacy: A Brief Analysis’, ORF Issue Brief No. 335, January 2020, Observer Research Foundation. Diakses dari https://www.orfonline.org/research/twitter-diplomacy-a-brief-analysis-60462/


Desai, R. (2019). Twitter Diplomacy or Twitter Electioneering?. Valdai Club. Diakses dari https://valdaiclub.com/a/highlights/twitter-diplomacy-or-twitter-electioneering/?sphrase_id=1359259


Chan, K. Alden, C. (2021). Twitter and digital diplomacy: China and COVID-19. London School of Economics and Politics. Diakses dari https://blogs.lse.ac.uk/covid19/2021/06/09/twitter-and-digital-diplomacy-china-and-covid-19/


Penulis. (2017). 4 Tactics for PA, PD, and Principal Officers on Twitter. George Washington University. Diakses dari https://blogs.gwu.edu/ipdgcsmartpower/tag/twitter-diplomacy/


Sevin, E., & Manor, I. (2019). From embassy ties to Twitter links: Comparing offline and online diplomatic networks. Policy & Internet, 11(3), 324-343. Diakses dari https://www.academia.edu/download/58453325/sevin_and_manor.pdf


Bjola, C., & Holmes, M. (2015). Digital diplomacy: Theory and practice. Routledge. Diakses dari https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=EcwqBwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=digital+diplomacy&ots=2BqLuyxXY7&sig=za0yVSzrODyJQDLtqiYueB5pCrg&redir_esc=y#v=onepage&q=digital%20diplomacy&f=false


Sandre, A. (2015). Digital diplomacy: Conversations on innovation in foreign policy. Rowman & Littlefield. Diakses dari https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=vytyBgAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR5&dq=digital+diplomacy&ots=DIBqNNCSUH&sig=i2ICj3hQZ6RP4Jq5hnpJX1DvBiI&redir_esc=y#v=onepage&q=digital%20diplomacy&f=false


Bjola, C., & Zaiotti, R. (Eds.). (2020). Digital diplomacy and international organisations: Autonomy, legitimacy and contestation. Routledge. Diakses dari https://www.google.com/books?hl=en&lr=&id=7hAHEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=digital+diplomacy+book&ots=tgnAFdJ5Tp&sig=sU57XaG51hApFSzwp-q1DR7sORM


Choo, S. E., & Park, H. W. (2011). Government organizations innovative use of the Internet: The case of the Twitter activity of South Korea’s ministry for food, agriculture, forestry and fisheries. Diakses dari https://link.springer.com/article/10.1007/s11192-011-0519-2


Sobel, M., Riffe, D., & Hester, J. B. (2016). Twitter diplomacy? A content analysis of eight US embassies Twitter feeds. The Journal of Social Media in Society, 5(2), 75-107. Diakses dari http://thejsms.org/tsmri/index.php/TSMRI/article/view/168




Penulis: Dilla Andieni Nurshadrina (Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta)

Email: dillaandieni@gmail.com

Editor: Tim HubunganInternasional.id


About The Author

Comments