Penolakan Indonesia untuk Mengakui Kosovo
- Apr 26, 2021
- /
- Opini
- /
- Admin
- 16669
Pada 17 Februari 2008, Kosovo secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaannya dari Serbia, setelah ketegangan bertahun-tahun antara etnis mayoritas Albania dan minoritas Serbia. Kosovo adalah wilayah yang didominasi etnik Albania yang dulunya adalah sebuah provinsi otonom Serbia. Serbia telah menolak untuk mengakui status kenegaraan Kosovo dan masih menganggapnya sebagai bagian dari Serbia, meskipun tidak memiliki kendali formal sedikit pun. Kemerdekaan Kosovo telah diakui oleh sekitar 100 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Amerika Serikat. Rusia, China dan lima negara Uni Eropa telah memihak Serbia. Kebuntuan telah menyebabkan ketegangan terus membara dan mencegah stabilisasi penuh kawasan Balkan setelah perang Yugoslavia tahun 1990-an.
Sengketa Kosovo sebenarnya sudah berlangsung selama berabad-abad lamanya. Serbia menghargai wilayah tersebut sebagai jantung kenegaraan dan agamanya. Banyak biara Kristen Ortodoks Serbia abad pertengahan terletak di Kosovo. Kaum nasionalis Serbia memandang peristiwa pertempuran tahun 1389 melawan Ottoman di Kosovo sebagai simbol perjuangan nasionalnya. Etnis mayoritas Albania yang beragama Islam memandang Kosovo sebagai negara mereka dan menuduh Serbia melakukan pendudukan dan penindasan. Pemberontak etnis Albania melancarkan pemberontakan pada tahun 1998 untuk membebaskan Kosovo dari kekuasaan Serbia. Tanggapan brutal Beograd mendorong intervensi NATO (Operation Allied Force) pada tahun 1999, yang memaksa Serbia menarik diri dan menyerahkan kendali kepada penjaga perdamaian internasional.
Gambar: Sumber
Deklarasi sepihak kemerdekaan Kosovo dipersiapkan oleh AS dan negara-negara anggota Uni Eropa (UE). Namun, kontroversi tetap ada mengenai apakah negara ketujuh yang muncul dari bekas Yugoslavia ini memiliki hak untuk berdiri (right to exist). Rusia dan China sebagai kekuatan veto PBB, enam anggota UE, dan lebih dari dua lusin negara lain sepakat dengan Serbia dalam menolak status kenegaraan untuk Kosovo atau menuntut negosiasi lebih lanjut. Namun, karena Washington dan mayoritas negara UE telah mengakui kemerdekaan Kosovo, hal tersebut menjadi fakta politik yang tidak dapat diubah.
Pada Januari 2013, Wakil Menteri Luar Negeri Kosovo, Petrit Selimi mengatakan kepada Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin bahwa Kosovo berharap agar Indonesia mau mengakui kemerdekaannya, dalam konferensi bertema “Penguatan Peran Tokoh Agama dalam Mediasi dan Penyelesaian Konflik”. Selimi mengapresiasi dukungan Muhammadiyah atas kemenangan tersebut, dengan mengatakan bahwa pengakuan tersebut penting bagi Kosovo sebagai negara mayoritas Muslim. Selimi menilai Indonesia memiliki posisi strategis dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok (GNB).
Indonesia belum mengakui kemerdekaan Kosovo yang dideklarasikan secara sepihak. Kedudukan Pemerintah RI sejalan dengan prinsip Indonesia untuk menghormati sepenuhnya prinsip kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah masing-masing negara anggota PBB, yaitu asas yang tertuang dalam Piagam PBB dan Hukum Internasional, sebagai asas penting yang harus dijunjung tinggi, khususnya oleh negara-negara berkembang yang masih menghadapi tantangan nation-building.
Dukungan kepada Pemerintah Serbia pasca Brussels Agreement juga disampaikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono melalui surat kepada Presiden Serbia Tomislav Nikolic pada 30 April 2013 yang pada prinsipnya menegaskan kembali dukungan Indonesia atas komitmen Serbia untuk menyelesaikan masalah Kosovo secara damai melalui dialog dengan Pristina, sebagaimana diamanatkan oleh Resolusi PBB.
Dalam pertemuan dengan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Serbia Ivica Dacic di Beograd, Serbia pada Juli 2020, Menkumham RI Yasonna Laoly menegaskan dukungan Indonesia terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah Serbia terkait konflik dengan Kosovo. “Kami menghargai hubungan bilateral yang sudah terjalin baik antara Indonesia dengan Serbia yang sudah berlangsung sejak 1954. Posisi Indonesia dalam isu Kosovo sudah tegas, yakni mendukung kedaulatan dan keutuhan wilayah Serbia sebagai sesama anggota PBB,” kata Yasonna. “Adapun Indonesia mendukung penyelesaian konflik ini secara damai lewat dialog dan negosiasi dan dalam posisi tidak mengakui deklarasi kemerdekaan sepihak yang dilakukan Kosovo,” ujarnya. Adapun kedatangan delegasi Indonesia pimpinan Yasonna ke Serbia tak lepas dari pembahasan rancangan kerja sama bantuan hukum timbal balik dan ekstradisi antara kedua negara. Delegasi Indonesia ini juga dilengkapi unsur Kepolisian RI yang diwakili Kadivhubinter Irjen Pol Napoleon Bonaparte beserta tim.
Perihal kemerdekaan Kosovo di Indonesia memicu polemik dalam politik, karena terdapat perbedaan pendapat dari berbagai parpol. Beberapa parpol seperti Golkar, PPP, PKS dan PAN mendorong agar pemerintah segera mendukung kemerdekaan Kosovo, dengan alasan bahwa Indonesia berprinsip bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, sesuai dengan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Sementara PDI-Perjuangan berpandangan bahwa jika Indonesia mendukung kemerdekaan Kosovo, sama artinya dengan mendukung separatisme. Indonesia masih memiliki sejumlah masalah separatisme yang hingga kini belum dapat diatasi, ditambah dengan partai beraliran agama menganggap Indonesia harus mendukung kemerdekaan dikarnakan faktor persamaan agama sehingga hal ini harus disambut dengan baik.
Gambar: Sumber
Perjuangan Kosovo, bagi para politisi Indonesia dan komunitas internasional sama dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yaitu sebuah gerakan pemisahan diri (separatis) yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip PBB tentang integritas wilayah dan kedaulatan negara. Papua sejajar dengan Kosovo sebelumnya, sebagai bagian dari wilayah yang ingin memisahkan diri. Papua maupun Kosovo punya kesamaan latar belakang dalam pandangan dunia internasional terutama Blok Barat, yaitu Serbia dan Indonesia masing-masing punya rekam jejak buruk pelanggaran HAM terhadap rakyatnya. Pada kasus Kosovo, itu menjadi alasan utama dukungan perjuangan dan kemerdekaan oleh AS, NATO, Uni Eropa, juga PBB dengan meloloskan resolusi DK PBB 1244 dan penyetujuan proposal Ahtisaari. Bagi AS, Uni Eropa, dan sebagian besar anggota PBB, dukungan perjuangan hingga kemerdekaan Kosovo, paling tidak memiliki kepentingan strategis dalam geopolitik sebagai bagian dari bentuk konfrontasi terhadap Rusia dan Serbia.
Dalam melakukan perjuangan separatisme, bangsa Papua tidak terlepas dari intervensi internasional. Potensi dukungan terhadap perjuangan Papua sama halnya dengan Kosovo, yaitu etnis Papua berbeda dengan Indonesia yang didominasi etnis Jawa, sama halnya etnis Albania di Kosovo berbeda dengan Serbia yang didominasi etnis Serbia. Papua mayoritas beragama Kristen dan minoritas dalam NKRI yang mayoritas beragama Islam, sama halnya dengan Kosovo yang mayoritas beragama Muslim dan minoritas dalam Serbia yang mayoritas menganut Kristen Ortodoks. Potensi lainnya adalah, genosida di Kosovo sama halnya dengan Papua. Wilayah kaya emas ini menyimpan banyak persoalan yang menjadi perhatian internasional. Pertanyaan yang harus dijawab oleh OPM yaitu potensi kemandirian negara Papua yang terbentuk secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sudah banyak negara lain mendukung kemerdekaan dan mengakui Kosovo sebagai negara berdaulat, termasuk tetangga Indonesia sendiri, yakni Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand. Kendati demikian, Indonesia masih tetap pada pendiriannya yang belum berminat untuk mengakuinya sebagai negara. Dapat dikatakan Indonesia tidak mau latah dalam menyingkapinya. Tidak ada yang salah dari sikap Indonesia ini, belajar dari masa lalu (lepasnya Timor Timur pada tahun 2002), Indonesia memahami agar tidak terulang kembali peristiwa yang sama.
Referensi
BBC. (2021, 13 April). “Kosovo profile”. BBC. Accessed from https://www.bbc.com/news/world-europe-18328859 diakses pada 26 April 2021
Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia. (2019, 15 November). “Issue of Kosovo”. Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia. Accessed from https://kemlu.go.id/portal/en/read/99/halaman_list_lainnya/issue-of-kosovo diakses pada 26 April 2021
Rostiyani, Y. (2013, 17 Januari). “Kosovo: We need Indonesia to recognize our independence.” republika.co.id. Accessed from https://republika.co.id/berita/mgs17n/kosovo-we-need-indonesia-to-recognize-our-independence diakses pada 26 April 2021
CSS Analyses in Security Policy. (2008, Maret). “Kosovo’s Controversial Independence”. Center for Security Studies (CSS), Vol 3, No 29.
Gec, J. (2019, 29 Mei). “AP Explains: Why do Serbia-Kosovo tensions persist?” AP. Accessed from https://apnews.com/article/5d6963a912494fbaaa21f3ee316253cb diakses pada 26 April 2021
Mauliani, R. (2016, Oktober). “Kebijakan Indonesia Belum Mengakui Kemerdekaan Kosovo pada Tahun 2008”. JOM FISIP, Vol. 3, No. 2.
Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama. (2020, 6 Juli). “Menkumham Yasonna Laoly Tegaskan Dukungan Indonesia terhadap Serbia dalam Konflik dengan Kosovo”. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. https://www.kemenkumham.go.id/berita/menkumham-yasonna-laoly-tegaskan-dukungan-indonesia-terhadap-serbia-dalam-konflik-dengan-kosovo diakses pada 26 April 2021
Penulis: Rayno Argaditya. Mahasiswa Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta
Editor: Tim HubunganInternasional.id