Analisis Perang Lima Hari Rusia-Georgia Tahun 2008

  • Mar 22, 2021
  • /
  • Opini
  • /
  • Admin
  • 16670

Antara 7-12 Agustus 2008, perang antara Rusia dengan Georgia pecah di kawasan Abkhazia dan Ossetia yang ingin memisahkan diri dari Georgia dengan dukungan Rusia. Kampanye militer yang direncanakan Rusia berakhir dengan kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi Uni Eropa (Isachenkov, 2018). Namun, Rusia memutuskan untuk mengakui Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai negara merdeka dan memperkuat kehadiran militernya di sana (Isachenkov, 2018). UE menyatakan bahwa tindakan Rusia “melanggar kedaulatan dan integritas wilayah Georgia” (Osborn, 2008). Presiden AS George W. Bush meminta Rusia untuk "mempertimbangkan kembali keputusan yang tidak bertanggung jawab tersebut" (Osborn, 2008).


Penulis berargumen bahwa intervensi militer Rusia di Georgia memiliki tiga motif geopolitik; menganeksasi provinsi separatis Abkhazia dan Ossetia Selatan, menggulingkan Presiden Georgia Mikheil Saakashvili yang pro-Barat, dan memulihkan status superpower Rusia pasca keruntuhan Uni Soviet. Perang ini dianggap sebagai perang Eropa pertama di abad ke-21 (Emerson, 2008). Penulis akan menganalisis peristiwa Perang Rusia-Georgia 2008 dengan konsep power dan teori stabilitas hegemoni.


Latar Belakang
Bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991 memberi kemerdekaan kepada 15 negara konstituennya, yakni Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Latvia, Lithuania, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan. Namun, tiga dari mereka (Estonia, Latvia dan Lithuania) memutuskan untuk bergabung dengan NATO dan Uni Eropa pada tahun 2004. Dalam logika politik Rusia, wilayah bekas Soviet dikenal dengan istilah near abroad. Pada tahun 2018, Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev mengatakan bahwa perluasan keanggotaan NATO ke near abroad adalah ancaman keamanan serius bagi Rusia (Isachenkov, 2018). Salah satu konflik terkemuka yang terjadi di kawasan near abroad adalah perang lima hari pada tahun 2008 antara Rusia dengan Georgia, sebuah negara kecil Kaukasus Selatan yang terletak di selatan Rusia dan di pantai timur Laut Hitam.

Konvoi militer Rusia di Pegunungan Kaukasus menuju Ossetia Selatan. Sumber


Akar dari konflik Rusia-Georgia dimulai pada awal 1990-an, ketika Georgia mendeklarasikan kemerdekaan dari Uni Soviet (Euronews, 2018). Zviad Gamsakhurdia terpilih sebagai Presiden pertama Georgia modern di era pasca-Soviet (Independent, 2011). Perang saudara meletus di Georgia, ketika dua provinsi otonom, Abkhazia dan Ossetia Selatan, berusaha untuk memisahkan diri dan terjadi permusuhan antara pihak yang mendukung (dikenal dengan istilah “Zviadists”) dan menentang kekuasaan otoriter Gamsakhurdia (re-tawon, 2020).


Pemerintah Georgia mengirimkan pasukan militer ke Abkhazia karena pemerintah Abkhazia ingin mengelola wilayahnya secara mandiri, yang memicu perang yang berlangsung hingga tahun 1993. Berkat pasokan senjata dan milisi relawan Rusia, separatis Abkhazia berhasil memenangkan perang tersebut. Konflik Abkhazia kembali meletus pada tahun 1998, namun Abkhazia menang untuk yang kedua kalinya dan mempertahankan kemerdekaannya dari Georgia (re-tawon, 2020).


Pada saat yang sama, di awal tahun 1992, Gamsakhurdia berhasil digulingkan dan digantikan oleh Eduard Shevardnadze, mantan Menteri Luar Negeri Uni Soviet (1985-1991) di bawah Mikhail Gorbachev, yang berusaha untuk menangani keadaan yang semakin memburuk (Cornell, 2002: 166). Kesepakatan gencatan senjata berhasil tercapai pada 24 Juni 1992, di bawah Perjanjian Sochi. Menurut perjanjian tersebut, hanya ada kesepakatan untuk mengakhiri perang, namun status Ossetia Selatan tidak jelas. Komisi Penjaga Perdamaian dibentuk dengan melibatkan Angkatan Bersenjata Rusia, Georgia dan Ossetia Selatan. Pemerintah Ossetia Selatan secara de facto berkuasa tanpa intervensi Tbilisi (Frederik, 2010: 153). Pada Desember 1993 pula, Georgia bergabung dengan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) (Insee).


Pada tahun 1996, Presiden Ossetia Selatan Lyudvig Chibirov menandatangani memorandum “Measures to Ensure Security and Strengthen Mutual Confidence” di Moskow, Rusia, pada 16 Mei 1996, bersama Presiden Georgia Eduard Shevardnadze. Presiden Rusia Boris Yeltsin mengatakan bahwa memorandum tersebut adalah langkah awal untuk mencapai penyelesaian konflik antara Georgia dan Ossetia Selatan (RFE/RL, 1996). Banyak orang Ossetia dan Abkhazia menjadi warga negara Rusia, berkat kebijakan passportization pemerintah Rusia (Kofman, 2018).


Ketegangan antara Rusia dan Georgia meningkat kembali setelah terjadinya Revolusi Mawar pada tahun 2003, dimana Shevardnadze digulingkan akibat tuduhan kecurangan pemilu dan digantikan oleh Mikheil Saakashvili yang pro-Barat. Saakashvili menyatakan keinginan Georgia untuk bergabung dengan NATO dan UE, yang menyebabkan Ossetia Selatan dengan dukungan Rusia menolak rencana perdamaian atau negosiasi apa pun (Guseinova, 2012). Ossetia Selatan menjadi alat Rusia untuk menekan dan menjaga Georgia agar tetap berada di dalam lingkup pengaruhnya (Guseinova, 2012).


Pada Mei 2004, Saakashvili mencoba untuk memulihkan kedaulatan Georgia atas wilayah Ossetia Selatan dengan mengirim kepolisian dan pasukan khusus Georgia dalam operasi anti-penyelundupan di kawasan Ossetia Selatan (International Crisis Group, 2007). Dengan kehadiran pasukan tersebut yang bukan bagian dari misi penjaga perdamaian gabungan, pemerintah dan warga Ossetia Selatan menganggapnya sebagai niat Georgia untuk ‘mencairkan frozen conflict’ selama 12 tahun. Pasukan militer Georgia terlibat dalam bentrokan bersenjata dengan milisi Ossetia Selatan dan pada Juli dan Agustus 2004, bentrokan ini menjadi perang terbatas setelah kedua belah pihak saling menembaki senjata ringan dan artileri satu sama lain di zona konflik (Nygren, 2008).


Puncak dari memburuknya hubungan antara Rusia dengan Georgia adalah ketika Georgia melancarkan serangan untuk merebut Tskhinvali (ibu kota Ossetia Selatan) pada malam 7 Agustus 2008. Namun, pada 8 Agustus, gerakan separatis Ossetia Selatan yang didukung oleh Rusia membalas serangan tersebut dan mengirim masuk tentara mereka ke Tskhinvali, serta berhasil merebut kembali kota tersebut (Wirawan, 2020). Perang diakhiri pada 12 Agustus, ketika Presiden Perancis Nicolas Sarkozy memperantarai kesepakatan gencatan senjata, yang ditandatangani oleh Presiden Rusia Dmitry Medvedev dan Presiden Georgia Mikheil Saakashvili. Rusia sepakat untuk menarik sebagian besar pasukan militernya dari Georgia sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata, tetapi beberapa tentaranya masih berjaga di pos-pos pemeriksaan dekat wilayah sengketa Abkhazia dan Ossetia Selatan (CNN International, 2020).


Pada 26 Agustus 2008, Rusia secara resmi mengakui kemerdekaan Abkhazia dan Ossetia Selatan. Pada Agustus 2009, Presiden Georgia Mikheil Saakashvili mengumumkan bahwa Georgia keluar dari CIS, karena dinilai gagal dalam mencegah konflik (RFE/RL, 2009). Pada November 2009, Georgia memutuskan hubungan diplomatik dengan Rusia karena pengakuan Kremlin terhadap dua wilayah separatis Georgia tersebut sebagai negara merdeka (VOA, 2009).

Geopolitik Georgia
Georgia adalah sebuah negara kecil yang terletak di Kaukasus Selatan, pada persimpangan Eropa Timur dan Asia Barat, menjadi penyangga (buffer) antara Rusia dan Turki. Di masa lampau, wilayah Georgia mengalami dominasi pada abad ke-12 oleh Mongolia, lalu pada abad ke-13 diperebutkan oleh Kekaisaran Ottoman dan Kekaisaran Persia hingga tahun 1800, ketika Georgia jatuh di tangan Rusia (ilmugeografi). Masyarakat Georgia menyebut diri mereka Sakartvelo (BBC, 2013). Sejak kemerdekaannya dari Uni Soviet, situasi geopolitik dan perkembangan politik domestik Georgia memiliki makna yang signifikan bagi Amerika Serikat, UE dan Rusia.


Kaukasus Selatan merupakan kawasan yang strategis dimana Rusia dan aktor lainnya, khususnya Turki, AS, China dan UE, memiliki kepentingan yang berlawanan. Kawasan ini juga sangat signifikan bagi Rusia dalam lingkup politik, militer dan ekonomi (Kocaman, 2007). Dalam konteks keamanan energi Eropa, Georgia memiliki peran yang sangat penting sebagai jalur transit untuk pasokan energi dari kawasan Laut Kaspia (Lynch, 2006: 8). Georgia menjadi bagian jalur pipa Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) yang mengangkut pasokan minyak dan gas ke Eropa Barat. Bagi para analis di Rusia, jalur pipa tersebut mampu memperlemah pengaruh tradisional Rusia di kawasan.


Sejak Revolusi Mawar 2003, pemerintah Georgia berusaha untuk mempercepat proses integrasi dengan UE dan NATO. Di depan Majelis Eropa pada tahun 1999, mantan Ketua Parlemen Georgia Zurab Zhvania menyatakan, “Saya adalah warga Georgia, dengan demikian saya adalah warga Eropa” (Jones, 2003: 90).


Status Abkhazia dan Ossetia Selatan
Abkhazia dan Ossetia Selatan adalah dua dari empat negara de facto independen di wilayah bekas Soviet yang kurang menerima pengakuan internasional. Bersama mereka, ada Transnistria (diakui secara internasional sebagai bagian dari Moldova) dan Republik Artsakh (diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan) (My, 2019). Keempat entitas separatis tersebut memutuskan untuk bersatu dan saling mengakui kemerdekaan satu sama lain, bahkan membentuk Community for Democracy and Rights of Nations (My, 2019). Transnistria dan Artsakh tidak diakui oleh satu pun anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (My, 2019).


Georgia telah lama menuduh Rusia membujuk sekutunya agar bersedia mengakui Abkhazia dan Ossetia Selatan dengan imbalan bantuan militer, ekonomi dan diplomatik (Eurasianet, 2018). Hingga kini, Abkhazia dan Ossetia Selatan telah menerima pengakuan diplomatik oleh lima negara anggota PBB; Nikaragua, Nauru, Rusia, Suriah dan Venezuela.


Perang Rusia-Georgia 2008 Menurut Konsep Power dan Teori Stabilitas Hegemoni
Penulis akan menganalisis peristiwa Perang Rusia-Georgia 2008 melalui konsep power dan teori stabilitas hegemoni. Rusia menjalin hubungan kuat dengan kawasan separatis Abkhazia dan Ossetia Selatan serta menggunakan kebijakan ekspansionisnya dalam perang melawan Georgia (juga Barat secara tidak langsung). Tujuan kebijakan luar negeri Rusia adalah untuk menjaga stabilitas di perbatasan selatannya, mencegah NATO untuk menggunakan Georgia sebagai basis untuk mengancam keamanan nasionalnya, serta menggunakan dukungannya untuk Abkhazia dan Ossetia Selatan untuk menghambat proses integrasi Euro-Atlantik Georgia. Sesuai dengan teori stabilitas hegemoni, Rusia ingin memulihkan status superpower-nya dan menjadi hegemon di kawasan Kaukasus. Rusia tidak ingin aktor-aktor lain (seperti Amerika Serikat, UE dan China) menanam pengaruhnya di kawasan, karena khawatir akan potensi terancamnya stabilitas dan keamanan, yang pada akhirnya berdampak pada keamanan nasional Rusia sendiri.


Daftar Pustaka
Cohen, A. & Hamilton, R. E. (2011). The Russian Military and the Georgia War: Lessons and Implications. Strategic Studies Institute.


Pruitt, S. (2018, 4 September). How a Five-Day War with Georgia Allowed Russia to Reassert Its Military Might. History. https://www.history.com/news/russia-georgia-war-military-nato


Re-tawon. (2012, 24 Juli). Perang 5 Hari yang Membakar Ossetia Selatan. Republik Eusosialis Tawon. https://www.re-tawon.com/2012/07/perang-5-hari-yang-membakar-ossetia.html


Re-tawon. (2020, 12 November). Sejarah Perang Rusia-Georgia di Front Abkhazia. Republik Eusosialis Tawon. https://www.re-tawon.com/2020/11/sejarah-perang-rusia-georgia-di-front.html


Re-tawon. (2020, 8 November). Perang Abkhazia Pertama, Pergolakan di Ujung Barat Georgia. Republik Eusosialis Tawon. https://www.re-tawon.com/2020/11/perang-abkhazia-pertama-pergolakan-di.html


My, N. H. T. (2019, 17 November). Community for Democracy and Rights of Nations. Political Holidays. https://www.politicalholidays.com/post/community-for-democracy-and-rights-of-nations


Wirawan, M. K. (2020, 9 Mei). ‘5 Days of War’, Kilas Balik Perang Rusia-Georgia di Ossetia Selatan pada 2008. Kompas. https://www.kompas.com/global/read/2020/05/09/203941470/5-days-of-war-kilas-balik-perang-rusia-georgia-di-ossetia-selatan-pada?page=all


Laksono, A. W. (2012). Konflik Georgia dan Rusia di Ossetia Selatan pada Bulan Agustus 2008. FISIPUI.


Utiashvili, T. (2014, 4 Juni). Why Is a Small State Like Georgia Important for the USA, the EU and Russia? E-International Relations. https://www.e-ir.info/2014/06/04/why-is-a-small-state-like-georgia-important-for-the-usa-the-eu-and-russia/


Fakhrunnas. (2019). Kepentingan Rusia dalam Mengintervensi Konflik Perbatasan Abkhazia dan Ossetia Selatan di Wilayah Georgia. JOM FISIP Vol 6: Edisi II.


Bbc.com. Georgia country profile. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-europe-17301647


Thalis, A. (2018, 3 Juni). Threat or Threatened? Russia in the Era of NATO Expansion. Australian Institute of International Affairs. https://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/threat-or-threatened-russian-foreign-policy-in-the-era-of-nato-expansion/


Redaksi Ilmugeografi. Negara Georgia: Tempat Bertemunya Berbagai Macam Kebudayaan Eropa dan Asia. Ilmugeografi. https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/negara-georgia


Cornell, S. E. (2002). Ethnoterritoriality and Separatism in the South Caucasus – The Case of Georgia. https://isdp.eu/content/uploads/images/stories/isdp-main-pdf/2002_cornell_autonomy-and-conflict.pdf


Nygren, B. (2008). The Rebuilding Greater Russia: Putin’s Foreign Policy Toward the CIS Countries. Rountledge.


Kofman, M. (2018, 17 Agustus). The August War, Ten Years On: A Retrospective on the Russo-Georgian War. War on the Rocks. https://warontherocks.com/2018/08/the-august-war-ten-years-on-a-retrospective-on-the-russo-georgian-war/


CNN Editorial Research. (2020, 31 Maret). 2008 Georgia Russia Conflict Fast Facts. CNN International. https://edition.cnn.com/2014/03/13/world/europe/2008-georgia-russia-conflict/index.html


Tass.com. (2018, 29 Mei). Countries that recognized South Ossetia’s and Abkhazia’s independence. TASS Russian News Agency. https://tass.com/world/1007058


Voanews.com. (2009, 1 November). Georgia Breaks Diplomatic Ties with Russia. VOA. https://www.voanews.com/archive/georgia-breaks-diplomatic-ties-russia


RFE/RL. (2009, 18 Agustus). Georgia Finalizes Withdrawal from CIS. Radio Free Europe/Radio Liberty. https://www.rferl.org/a/Georgia_Finalizes_Withdrawal_From_CIS/1802284.html


Insee.fr. (2016, 13 Oktober). Commonwealth of Independent States / CIS. Insee. https://www.insee.fr/en/metadonnees/definition/c1918


Bbc.com. (2013, 4 Juli). 10 things you might not know about Georgia. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-europe-23072361


Guseinova, E. (2012). The Russia’s Interest Behind the Involvement in Georgia-South Ossetian Conflict. CEU eTD Collection.


McCauley, M. (2011, 22 Oktober). Obituary: Zviad Gamsakhurdia. Independent. https://www.independent.co.uk/news/people/obituary-zviad-gamsakhurdia-1396384.html


Lomsadze, G. (2018, 29 Mei). Syria formally recognizes Abkhazia and South Ossetia. Eurasianet. https://eurasianet.org/syria-formally-recognizes-abkhazia-and-south-ossetia


Kocaman, O. (2007). Russia’s Relations with Georgia within the Context of the Russian National Interests Towards the South Caucasus in the Post-Soviet Era: 1992-2005. OAKA. https://www.acarindex.com/dosyalar/makale/acarindex-1423910583.pdf


Emerson, M. (2008, 27 Agustus). Post-Mortem on Europe’s First War of the 21st Century. Centre for European Policy Studies (CEPS).
Isachenkov, V. (2018, 7 Agustus). Russia warns of ‘horrible’ conflict if Georgia joins NATO. AP. https://apnews.com/article/21036352495b4b4fa9802bd2d7c5ac86


Penulis: Raynor Argaditya - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Editor: Tim HubunganInternasional.id


About The Author

Comments