20 Buku Hubungan Internasional Paling Berpengaruh
- Sep 3, 2018
- /
- Buku
- /
- Admin
- 7958
Penulis: Randhi Satria
(Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret)
Buku merupakan salah satu harta yang paling berharga bagi mahasiswa. Karena itu, membaca buku menjadi hal yang sangat penting bagi mahasiswa untuk mendukung pengetahuannya. Terlebih sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, HI-bro dan HI-sis dituntut untuk memperbanyak sumber referensi bacaan. Banyaknya buku referensi dalam mengkaji Hubungan Internasional tentunya akan menyulitkan mahasiswa dalam memilih buku yang tepat. Hal inilah yang sepertinya mengilhami HI-sir yang bernama M. Rosyidin untuk menulis buku terbarunya dengan judul “20 Buku Hubungan Internasional Paling Berpengaruh”. Pada kesempatan kali ini, hubunganinternasional.id akan mewawancarai M. Rosyidin yang merupakan dosen di Program Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Diponegoro untuk mengetahui lebih jauh karyanya. Berikut adalah hasil wawancaranya:
hubunganinternasional.id (hi.id): Apa hal yang menjadi latar belakang dari penulisan buku ini?
M. Rosyidin (M.R): Ketika mengajar mata kuliah Teori HI, saya mendapati mahasiswa cukup kesulitan membaca karya-karya babon yang sering menjadi rujukan. Padahal gagasan dalam karya-karya itu sangat penting, tidak saja karena menentukan perkembangan studi HI selama hampir 100 tahun tetapi juga penting untuk mahasiswa yang akan melakukan penelitian, misalnya menulis paper dan skripsi. Saya prihatin dengan situasi itu. Ditambah lagi kenyataan bahwa banyak mahasiswa masih mengutip dari sumber-sumber tak kredibel dari internet untuk karya akademik mereka. Jadi saya berpikir bagaimana supaya mahasiswa mampu memahami inti gagasan dari karya-karya babon tersebut. Tentu saja buku ini tidak saya anjurkan sebagai buku rujukan utama. Buku ini hanyalah teks pengantar ke pemikiran-pemikiran kunci dalam HI. Setelah membaca buku ini saya berharap mahasiswa tidak berpuas diri dan semakin ingin tahu lebih dalam dengan membaca karya aslinya (first hand).
Image: Dokumentasi pribadi M. Rosyidin
hi.id: Mengapa menurut anda, 20 buku yang ada dalam list tersebut layak untuk dipelajari oleh mahasiswa Hubungan Internasional?
M.R: Saya sebetulnya agak ragu 20 adalah jumlah yang ideal untuk buku ‘paling berpengaruh’. Tentu ada banyak buku berpengaruh dalam kajian HI. Namun menentukan angka 20 semata-mata dimaksudkan untuk alasan praktis saja. Ada dua alasan mengapa saya memilih angka 20. Pertama, jumlah 20 menurut saya cukup memadai untuk mengulas satu-persatu karya-karya babon itu secara detil tanpa melebihi batas jumlah halaman yang proporsional untuk ukuran kemampuan membaca mahasiswa Indonesia. Saya menyadari betul efek media digital terhadap batas kemampuan membaca mahasiswa Indonesia. Paling-paling mahasiswa ‘jaman now’ hanya betah tak lebih dari 1 jam dalam sekali sesi membaca. Menulis buku dengan ketebalan yang pas merupakan tantangan tersendiri bagi penulis. Oleh sebab itu, saya mencoba mempertimbangkan faktor ini. Alasan kedua adalah saya mencoba membatasi diri pada karya yang benar-benar penting untuk dipelajari mahasiswa HI tingkat dasar. Itulah sebabnya dalam daftar saya tidak banyak karya-karya aliran kritis/pospositivis (kecuali aliran feminisme) yang menuntut pemahaman akan filsafat yang kuat. Saya cukup ragu dengan kapasitas intelektual mahasiswa sekarang untuk mencerna karya-karya filsafat yang mendasari munculnya aliran kritis/pospositivis dalam HI.
hi.id: Anda berpendapat bahwasanya 20 buku tersebut merupakan buku-buku yang paling berpengaruh dalam Hubungan Internasional. Bisa jelaskan maksud dari “paling berpengaruh”?
M.R: Paling berpengaruh mengandung dua pengertian. Pertama, berpengaruh dalam hal akademik. Artinya, sebuah pemikiran lebih diorientasikan untuk membangun perspektif teoritis tertentu untuk menjawab problem-problem keilmuan. Perspektif teoritis ini kemudian menjadi panduan dalam melakukan riset. Cirinya hanya satu: banyak dikutip dalam karya akademik. Saya tidak punya alat untuk mengukur banyak atau sedikitnya jumlah kutipan. Namun, dengan pengamatan kasar sudah dapat disimpulkan karya mana yang paling banyak dikutip dibanding lainnya. Kedua, berpengaruh dalam hal praktis. Banyak karya yang mempengaruhi praktisi politik dalam merumuskan kebijakan. Buku-buku yang mengandung resep kebijakan cenderung dibaca kalangan praktisi. Dari 20 buku HI paling berpengaruh, hanya sedikit yang benar-benar mempengaruhi kebijakan. Selebihnya buku akademik yang dipelajari di balik dinding kelas.
hi.id: Indikator yang anda gunakan dalam menentukan buku tersebut berpengaruh?
M.R: Sudah saya jelaskan di atas.
hi.id: Salah satu buku yang anda sebut paling berpengaruh di dalam tulisan anda adalah Politics among Nations karya H.J Morghentau. Bagaimana pendapat anda tentang pentingnya mahasiswa Hubungan Internasional untuk membaca buku ini? Dan bagaimana relevansi dari buku tersebut dengan kondisi dunia internasional saat ini?
M.R: Buku Politics among Nations harus diakui merupakan buku wajib baca bagi seluruh mahasiswa HI. Meskipun buku tersebut lebih condong ke sejarah diplomasi internasional, esensi pemikirannya sangat jelas bernuansa realis. Buku itu penting karena sejarah memberikan pelajaran penting bagi praktik hubungan luar negeri. Di samping itu, pemikiran realis yang dikemukakan Morgenthau sudah terlanjur menjadi semacam ‘ideologi’ bagi banyak penstudi HI dan kalangan praktisi. Seolah-olah menjadi mahasiswa HI itu harus menjadi ‘realis’. Padahal banyak yang hanya sekedar tahu gagasan realis dari sumber ‘katanya’, bukan hasil dari pembacaan yang intensif. Akibatnya timbul salah paham (atau sesat pikir) tentang esensi ajaran realisme politik itu seperti apa sebenarnya. Terkait pertanyaan kedua, buku itu akan tetap relevan sekalipun dunia sudah banyak berubah. Alasannya adalah argumen realisme Morgenthau sangat kokoh karena berdiri di atas pondasi pengalaman sejarah negara-negara selama ratusan tahun. Bagaimanapun, pengalaman adalah guru terbaik. Prinsip hubungan luar negeri yang diadopsi negara-negara di dunia dewasa ini masih cocok dengan tipikal negara-negara di abad-19 dan 20. Bahwa buku ini banyak kekurangan sudah pasti. Akan tetapi sebuah gagasan besar cenderung tak lekang oleh waktu.
hi.id: Menurut pendapat anda, bagaimana 20 buku tersebut dapat mendukung pengetahuan mahasiswa dalam mempelajari Hubungan Internasional?
M.R: Pertama, buku ini membantu mahasiswa mengenal mahakarya-mahakarya penting dalam studi HI. Tidak banyak mahasiswa (apalagi level S1) yang tahu buku HI mana yang perlu dibaca kalau tidak direkomendasikan dosennya. Sebagai langkah awal, mengenal adalah lebih baik daripada tidak sama sekali. Kedua, buku ini membantu memudahkan mahasiswa menyerap gagasan inti dari mahakarya-mahakarya itu. Buku-buku yang masuk daftar buku ini rata-rata sangat tebal dan menguras energi untuk membacanya. Dengan pertimbangan generasi milenial bukanlah kutu buku (kutu gadget?) sebagaimana generasi terdahulu, buku ini setidaknya membuat mereka memahami esensi dari setiap pemikiran. Ketiga, buku ini mempermudah mahasiswa dalam mencari asumsi-asumsi dasar yang akan mereka pakai sebagai kerangka analisis dalam menyusun karya akademik. Analisis yang bagus ditopang oleh pondasi teoritis yang kuat. Jika mereka kesulitan menemukan di mana letak asumsi dasar sebuah teori dalam buku setebal 500-700 an halaman, mereka bisa mencarinya dengan mudah di buku ini.
hi.id: Diantara 20 buku tersebut, adakah yang menjadi favorit anda? Mengapa?
M.R: Buku Social Theory of International Politics karya Alex Wendt. Saya memperoleh kopi buku ini dari kakak tingkat saya di S1 dulu dengan harga 20 ribu. Saya langsung tenggelam di dalamnya dan menekuni buku ini selama 4 tahun sebelum benar-benar memahaminya. Kalau dihitung-hitung, mungkin saya sudah membaca buku ini puluhan kali dan sekalipun tak pernah merasa bosan. Ibaratnya, buku ini sudah menjadi ‘kitab suci’ bagi saya. Bagaimana tidak, buku ini mengubah cara pandang saya tantang HI. Saya dulunya seorang realis fanatik. Setelah membaca buku ini saya murtad dari realis dan mentahbiskan diri menjadi penganut konstruktivis hingga sekarang. Lebih dari itu, saya menganggap Alex Wendt sebagai mentor konstruktivis saya. Saat mengerjakan skripsi lebih dari 10 tahun lalu, Alex adalah ‘pembimbing ketiga’ saya.
hi.id: Buku ini merupakan karya ke-6 anda sebagai penulis. Boleh share sedikit pengalaman menarik anda sebagai seorang penulis?
M.R: Menjadi penulis itu berarti menjadi pertapa sekaligus martir. Menulis adalah bekerja dalam kesendirian dan kesunyian. Saya sudah menulis sejak S1. Kalau dikatakan menulis adalah hobi, itu betul sekali. Menulis butuh energi yang besar. Jika tidak punya passion maka sulit sekali seseorang menjadi penulis. Saya menulis tanpa motif apapun kecuali membagi pengetahuan yang saya miliki ini kepada orang banyak. Kalaupun ada imbalan materi maupun penghargaan ini hanya efek samping. Semua karya saya tidak mendapatkan sponsor finansial dari siapapun. Semua saya tulis sendiri. Tentu bantuan pemikiran, saran, kritik, perbaikan dan kontribusi-kontribusi lainnya datang dari banyak teman dan kolega. Setelah passion, syarat kedua menjadi penulis adalah disiplin. Maksudnya harus pandai mengatur waktu. Setiap orang punya ritme kehidupan yang berbeda-beda. Tetapi semuanya punya jatah waktu yang sama; 24 jam. Tinggal ditemukan saja kapan waktu paling pas buat menulis. Kalau saya jam produktif saya adalah antara jam 6 sampai jam 10 pagi. Kemudian jam 9 sampai jam 11 malam. Kalau sudah menulis saya kadang lupa makan. Bahkan dulu pernah sewaktu menulis buku pertama saya (The Power of Ideas) saya sampai kena gejala tipes. Hal itu karena saya menulis karya sepanjang 55.000 kata itu kurang dari sebulan, lupa makan, lupa istirahat, dan jomblo pula hahaha. Kalau sudah ketemu jam produktifnya, syarat ketiga adalah fokus dan konsisten. Memulai kata pertama dalam menulis adalah persoalan gampang. Yang susah adalah menjaga ritme itu sampai kata terakhir. Terkadang di tengah jalan kita stuck, atau writer’s block. Itu biasa. Yang penting kita tidak terlalu lama membiarkan tulisan kita terbengkalai. Kalau naskah sudah jadi, syarat terakhir menjadi penulis adalah tidak berekspektasi terlalu berlebihan. Kadang kita sulit menerima kenyataan tulisan yang sudah susah payah kita buat ditolak penerbit atau editor untuk jurnal atau koran. Saya sendiri sudah kenyang dengan penolakan, bahkan hingga detik ini. Saya sih sudah kebal dengan hal-hal begituan.
Image: Dokumentasi pribadi M. Rosyidin
hi.id: Pertanyaan terakhir, adakah Pesan yang ingin anda sampaikan kepada para pembaca melalui karya anda seperti maksud dan tujuan dari ditulisnya buku tersebut?
M.R: Membaca adalah harga mati. Sekarang ini saya melihat adanya fenomena yang saya namakan ‘paradox of plenty’ dalam dunia pendidikan. Maksudnya, di satu sisi tingkat kesejahteraan ekonomi mahasiswa makin meningkat. Tengok saja tempat parkir kampus. Atau lihat saja merk gadget yang mereka bawa. Semuanya mengindikasikan kemampuan ekonomi yang di atas rata-rata. Tetapi di sisi lain, kemampuan intelektual jeblok. Bukan lantaran mereka ‘lemah otak’ alias kurang pandai. Sebaliknya, mereka rata-rata dari kalangan berada yang asupan nutrisinya terjamin sehingga otaknya cemerlang. Hanya saja, kemalasan yang membuat kemampuan intelektual tadi melemah. Mereka lebih suka utak-atik smart phone ketimbang membaca. Jika hal itu dibiarkan berlarut-larut, kualitas pemikiran generasi muda kita akan tertinggal jauh.
hi.id: Terimakasih atas waktunya. Kami tunggu karya anda yang berikutnya
M.R: Terima kasih dan selamat membaca.
Buku ini layaknya sebuah peta harta karun yang akan membawa pembacanya untuk menemukan harta karun lainnya. Harta karun yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan dalam Hubungan Internasional yang akan membuat para pemiliknya memiliki kekuasaan (wawasan). Jika dalam sebuah peperangan kita tentu harus mempersiapkan diri dengan baik (berlatih), maka dalam belajar kita pun harus melakukan hal yang sama (belajar). Terinspirasi perkataan John Rambo dalam film First Blood 1 “Let it go, or I’ll give you a war you won’t believe” saya pun mencoba mengkreasikan versi saya. Read, or I’ll give you an exam you won’t believe! So, selamat berburu harta karun guys!
Note: Penjelasan untuk beberapa istilah yang digunakan di atas
HI-bro sebutan pengganti untuk Mahasiswa HI
HI-sis sebutan pengganti untuk Mahasiswi HI
HI-sir sebutan pengganti untuk Dosen HI (pak dosen)
HI-ma’am sebutan pengganti untuk (bu dosen)