Peran Masyarakat Sipil Global dalam Menciptakan Perdamaian Dunia
- Aug 12, 2020
- /
- Opini
- /
- Admin
- 8539
Penulis: Putra Ramadhan
(Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Universitas AMIKOM Yogyakarta)
Editor: V.S
Perdamaian dunia merupakan sebuah topik yang tidak lekang dalam dalam diskusi hubungan internasional. Apa yang disebut sebagai “perdamaian dunia” itu sendiri belum mencapai konsensus tertentu mengenai definisi dari konsep tersebut, maupun pendekatan seperti apa yang harus digunakan untuk mencapainya. Penulis sendiri mendefinisikan perdamaian berdasarkan perspektif Johan Galtung (2013, 173-178) mengenai Positive Peace yang secara umum menyatakan bahwa perdamaian merupakan sebuah kondisi di mana tidak hanya terdapat ketiadaan kekerasan langsung (pembunuhan, pemukulan, kontak senjata), kekerasan struktural (diskriminasi kelompok, pengabaian hak dasar oleh negara), dan kekerasan kultural (praktik pingitan, kasta), melainkan juga terbentuknya kohesi sosial seperti terbentuknya rasa toleransi dan kerjasama dalam masyarakat.
Definisi perdamaian dunia di atas kemudian menimbulkan pertanyaan lanjutan, lantas siapakah pihak yang memiliki peran terbesar untuk mewujudkan konsep tersebut? Setidaknya terdapat dua arus pemikiran yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut, kelompok tradisional (yang menurut penulis mengacu pada konsep kontrak sosial Hobbesian) dan kelompok liberal (yang menurut penulis mengacu pada konsep John Locke mengenai kontrak sosial) (Prasetyawan & Ulfa, 2015: 16).
Kelompok tradisional menitikberatkan pada peran negara sebagai aktor yang berperan paling penting dalam upaya mencapai perdamaian dunia. Hal ini sejalan dengan paradigma tradisional HI yang menempatkan negara sebagai aktor utamanya. Hobbes sendiri menempatkan negara sebagai leviathan yang bertugas mencegah terjadinya omnium contra omnes (semua lawan semua), atau yang dapat dikatakan sebagai konflik sipil; setidaknya begitulah kondisi idealnya (Prasetyawan & Ulfa, 2015:16).
Image: Source
Tetapi pada praktiknya, seringkali negara justru menjadi aktor yang mendorong terjadinya konflik di dalam masyarakat. Meskipun telah dibatasi oleh berbagai peraturan perundang–undangan, tidak dapat dipungkiri bahwa negara memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan, terutama jika kekerasan tersebut dilakukan untuk mempertahankan state survival. Dalam konteks global, kecenderungan ini menjadi lebih jelas terlihat, terbukti dengan banyaknya konflik–konflik yang dilakukan, atau didukung oleh negara demi mencapai kepentingan nasionalnya, sebut saja Konflik Rohingya, Persekusi Uyghur, dan Invasi Teluk Babi. Kecenderungan negara untuk bias terhadap kepentingan nasionalnya ini membuat banyak pihak (termasuk penulis) merasa skeptis terhadap negara sebagai aktor utama dalam upaya perwujudan perdamaian dunia.
Menanggapi perspektif kelompok tradisional di atas, kelompok liberal datang dengan sudut pandang yang lebih selaras dengan pergerakan Masyarakat Sipil Global (MSG). Kelompol liberal melihat peran MSG melalui sudut pandang kontrak sosial John Locke, dengan menempatkan individu sebagai aktor utama yang menentukan bagaimana negara seharusnya bertindak demi melindungi hak individu setiap warganya, yang secara tidak langsung mendukung keberadaan dan keberlangsungan MSG. (Prasetyawan & Ulfa, 2015: 16) Rakyat yang berkelompok atas dasar kesamaan kepentingan dapat menekan dan mengawasi negara agar tidak melenceng dari mandat yang telah diberikan oleh rakyat. Sudut pandang tersebut selaras dengan posisi MSG menurut pandangan Keane (2003: 65) yang melihat MSG sebagai entitas yang terpisah dari negara dan pasar, serta menjadi kekuatan ketiga dalam struktur perpolitikan kontemporer. MSG menawarkan inklusifitas yang lebih luas dalam pergerakannya, mencakup berbagai macam isu–isu publik, sehingga mampu merangkul kelompok minoritas sekalipun, memberikan suara kepada mereka. MSG yang digerakkan oleh rakyat juga memiliki jangkauan lintas kelas sehingga mampu bertindak sebagai penyeimbang kebijakan top-down dari negara dengan menawarkan sudut pandang akar rumput (bottom-up).
Konsistensi MSG untuk terus mengupayakan tercapainya perdamaian juga dapat dilihat pada berbagai kasus dan tingkatan, mulai dari menjadi katalis terbentuknya kebijakan internasional yang mendukung terciptanya perdamaian, hingga pendampingan kepada wilayah dan masyarakat terdampak demi meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraaan sosial, juga demi menciptakan kondisi sosial yang stabil terutama pada daerah yang sedang mengalami transisi pasca konflik. Sebagai contoh, The International Campaign to Ban Landmines (ICBL) merupakan sebuah gerakan internasional yang dinisiasi oleh International Comitee of the Red Cross (ICRC) beserta lima organisasi lainnya pada tahun 1992 dengan misi menghentikan penggunaan ranjau darat (landmines) dalam pertempuran karena menimbulkan banyak kasus kecacatan, bahkan kematian, masyarakat sipil yang tinggal di wilayah konflik. Meski dihadapkan pada situasi yang sulit, namun ICBL ternyata mampu menciptakan riak besar dalam perpolitikan global yang berakhir dengan sukses, ditandai dengan Convention on the Prohibition of the Use, Stockpiling, Production, and Transfer of Anti-Presonnel Mines and Their Destruction pada 1997 yang melarang penggunaan, penyimpanan, produksi, dan penjualan ranjau darat di seluruh dunia; pencapaian ini juga diikuti oleh penganugerahan hadiah Nobel Perdamaian kepada ICBL pada tahun yang sama (Coate, 2004: 64 – 65).
Selain berupaya menciptakan kebijakan internasional, MSG juga bergerak pada sektor akar rumput, salah satunya adalah International Women’s Peace Service (IWPS). IWPS merupakan gerakan masyarakat sipil yang dibentuk tahun 2002 dan bergerak dalam pendampingan bagi masyarakat Palestina, terutama perempuan, yang menjadi korban dari okupasi Israel atas Palestina, khususnya di wilayah West Bank (Tepi Barat). IWPS banyak memberikan pendampingan dan pemberdayaan bagi masyarakat yang menjadi korban kebrutalan militer Israel, mulai dari kekerasan fisik, hingga pengambilan dan/atau pengerusakan lahan dan/atau bangunan yang dilakukan untuk mengusir paksa rakyat Palestina dari tanah mereka. IWPS juga menyalurkan penolakan rakyat Palestina melalui demonstrasi damai yang menolak okupasi illegal Israel atas Palestina (IWPS, 2020). Seluruh kegiatan tersebut juga didokumentasikan dengan baik, dan dilaporkan sebagai sumber literasi akademik dalam upaya memperjuangkan hak Palestina sebagai bangsa yang direnggut paksa oleh Israel.
Image: Putra Ramadhan
Tentu kita dapat berargumen bahwa MSG tidak lepas dari bias kepentingan karena proses terciptanya yang diawali oleh diversifikasi kepentingan dalam masyarakat, tetapi penulis merasa justru di situ lah letak keunggulan lain dari MSG. Keberagaman MSG justru dapat menjadi faktor penyeimbang dari pergerakan MSG itu sendiri. Karena posisinya yang setara, dialog antar MSG dapat bebas dari bias kuasa, dan berpotensi menciptakan hasil yang lebih adil bagi masyarakat yang terlibat. Dalam konteks global, MSG juga berpotensi mengumpulkan massa lintas negara dan budaya dengan jumlah yang lebih besar, terutama pada isu yang lebih universal seperti perubahan iklim, atau dalam konteks tulisan ini perdamaian dunia, sehingga suara yang dikeluarkan memiliki kekuatan yang lebih besar dan lebih ampuh dalam mengarahkan jalannya perpolitikan dunia.
MSG sebagai kekuatan baru perpolitikan dunia berpotensi menjadi faktor penentu baru dalam perdebatan mengenai bagaimana cara mencapai perdamaian dunia. Dengan kemampuannya untuk mengumpulkan kekuatan berskala global, MSG perlahan menjadi aktor yang diperhitungkan dalam percaturan politik dunia. Tetapi, MSG tidak dapat bertindak sebagai aktor utama dalam skala global. MSG tidak memiliki instrumen “keras” yang dapat mewujudkan perdamaian dunia (militer, undang – undang, aliansi, dll), sehingga diperlukan kolaborasi dari keduanya dalam menciptakan diskursus yang bermanfaat sesuai konteks tulisan ini. Perdamaian dunia merupakan masalah yang kompleks, dan tentu tidak dapat diselesaikan hanya oleh mereka yang tinggal di menara gading. MSG menjadi penting bagi proses ini karena menawarkan sudut pandang alternatif yang lebih segar mengenai bagaimana seharusnya perdamaian dunia itu didefinisikan, dan bagaimana cara umat manusia untuk bersama – sama mewujudkannya.
Referensi
Coate, R. (2004). “CIVIL SOCIETY AS A FORCE FOR PEACE”. International Journal of Peace Studies [Online] 9(2), pp. 57-86. Available at: www.jstor.org/stable/41852921 [Accessed: 8 August 2020].
Galtung, Johan. (2013) Pioneer of Peace Research (e-book). Heidelberg, New York, Dordrecht, & London : Springer. Available at: https://www.springer.com/gp/book/9783642324802 (Accessed : 20 July 2020).
IWPS. (2020) About [Online]. Available at: http://iwps.info/about-iwps/ [Accessed: 8 August
2020].
Keane, J. (2003). Global civil society?. Cambridge: Cambridge University Press.
Prasetiawan, Edwin., and Ulfa, Arofatin Maulina. (2015) “Civil Society as Peacebuilder in The Internet Era”. Indonesian Journal of International Studies [Online] (2)1, pp. 13-22. Available at : https://jurnal.ugm.ac.id/globalsouth/article/view/28848 [Accessed : 20
July 2020].