Glokalisasi - Gerakan Sosial, Kewargaan dan Komunitas Lokal
- Aug 5, 2020
- /
- Buku
- /
- Admin
- 4365
Profil Buku
Judul: Glokalisasi – Gerakan Sosial, Kewargaan dan Komunitas Lokal
Penulis: Yusli Effendi, dkk.
Penerbit: Intelegensia Media
Tahun: 2020
HubunganInternasional.id (hi.id): Apa yang melatarbelakangi penulisan buku ini?
Yusli Effendi, S.IP., M.A (YE):
Buku ini sebenarnya lahir dari kegemasan dan kebosanan. Gemas karena sejak 2010 saya pernah merencanakan dan memprakarsai penulisan buku HI yang mewakili kajian dan identitas HI Universitas Brawijaya (UB) yang sedang kami bangun—kajian global berorientasi lokal—namun tidak terwujud. Kegagalan itu mungkin karena saya telah membagi judul secara spesifik berdasar tiga peminatan di HI UB saat itu (International Security and Peace, International Political Economy, dan Social and Cultural Development) untuk sekitar sepuluh dosen kami saat itu. Rupanya membagi habis judul secara spesifik itu agak membebani bagi kolega dan membatasi mereka. Tujuannya sih sederhana: menjadi referensi kuliah dan menambah literatur HI berbahasa Indonesia yang masih jarang.
Buku “Glokalisasi” ini berproses sangat singkat dan cepat, agak-agak spontan. Lontaran ide Maret saat awal Work From Home (WFH), digencarkan April, berproses Mei dan dieksekusi Juni. Proses percetakan agak terhambat juga karena toko buku tutup sehingga penerbit wait and see menunda proses produksi.
Untuk mengatasi kebosanan masa pandemi dan WFH, saya dan dosen lain (Muhaimin Zulhair Achsin) di kelompok riset yang sama, yakni HI non-tradisional, berupaya mendorong kembali penulisan buku untuk kebutuhan bahan mata kuliah “Globalisasi dan Dinamika Lokal” yang merupakan mata kuliah wajib di HI UB. Belajar dari kegagalan buku sebelumnya, maka kami membebaskan tema dan judul tulisan. Kami cuma memberi pagarnya: tentang glokalisasi. Bahkan hingga mendekati naik cetak, kami cuma menyampaikan ke pihak penerbit bahwa judulnya sementara ini “Glokalisasi”. Baru setelah kami membaca semua naskah tulisan yang masuk untuk penulisan kata pengantar dan kata penutup buku, muncul gagasan untuk menambahkan sub-judul, “Gerakan Sosial, Kewargaan, dan Komunitas Lokal”
hi.id: Di dalam buku ini anda menulis “Untuk bertahan dari turbulensi global (yang disebabkan oleh pandemi), opsi glokal (globalisasi dan lokalisasi) tampak menjanjikan sebagai bagian dari ikhtiar reformasi struktural”. Tolong jelaskan maksud kalimat yang anda tulis ini!
Y.E:
Coba apa yang kita lakukan saat mengalami turbulensi hebat saat di ketinggian udara, di sebuah pesawat terbang? Kembali ke kedirian kita. Satu-satunya yang bisa kita kontrol ya cuma diri kita. Kita mungkin berharap pilot bisa mengendalikan situasi. Tapi kita juga sepenuhnya tahu bahwa dalam batas tertentu, pilot pun tak bisa melawan takdir Tuhan atas apa yang terjadi. Kita kembali ke diri kita. Kita berdoa. Percaya pada diri dan keyakinan kita.
Jika pandemi adalah turbulensi global, kita tak bisa mengontrolnya. Hingga detik ini, vaksin belum diproduksi. Inggris dan beberapa negara lain mengklaim dalam proses mengembangkan vaksin anti-virus dan akan mempoduksinya akhir tahun ini atau tahun depan. Kita? Hingga kini belum mampu memproduksi vaksin, dan sepertinya nanti akan kembali menjadi konsumen pabrikan farmasi global. Meski di negeri kita ada “kalung anti-Corona”, kita tahu itu tak lebih dari dagelan. Maka jika kita tak bisa mengendalikannya, yang realistis ialah mengendalikan apa yang mampu kita kendalikan: kondisi dan sumber daya lokal.
Pandemi telah melumpuhkan ekonomi global, tapi kita harus ingat bahwa ekonomi lokal tetap bisa hidup di tengah keterbatasan. Kita bisa belajar dari bank mikro-kredit pedesaan Indonesia yang tak terguncang saat krismon 1997 atau Iran yang makin kreatif dan mandiri setelah 41 tahun didera sanksi ekonomi.
Poin yang ingin saya sampaikan ialah bahwa penguatan struktur domestik merupakan keniscayaan karena kita akan mengalami apa yang disebut The Economist sebagai “slowbalisation”, perlambatan ekonomi global. Seiring dibukanya lagi aktivitas ekonomi secara bertahap, kegiatan ekonomi global akan kembali berjalan. Hanya saja kita tak bisa berharap kembali pulih seperti sediakala dengan cepat. Beberapa negara mungkin tergoda untuk membatasi pergerakan komoditas dan modal keluar negaranya.
Namun, pandemi ini kembali mengingatkan kita bahwa kita tak sepenuhnya bisa global dan tak lagi seutuhnya lokal. Persoalan global membutuhkan aksi global. Sementara ini, cara pandang tradisional soal keamanan masih mengedepankan keamanan nasional. Di tengah pandemi, kita pun melihat komedi: tiap negara berlomba-lomba menjadi penemu dan produsen vaksin anti-virus Corona. Perdana Menteri (PM) India pun mulai menebar propaganda ke bangsanya bahwa era ekonomi berdikari telah datang. Sebagai masyarakat global, kita sedang diuji untuk tidak tergoda melakukan apa yang disebut oleh analis geopolitik asal India, Dhanasree Jayaram, sebagai “kompartementalisasi ancaman dan respon”. Menyelesaikan ancaman global secara parsial.
Godaan kita sebagai negara ialah berkejaran dengan waktu menyelesaikan masalah pandemi dengan meningkatkan tingkat kesembuhan korban pandemi di negara kita sendiri, memproteksi warga, sekaligus memulihkan ekonomi nasional untuk menghindari resesi. Penemuan vaksin anti-virus tak hanya bisa meningkatkan tingkat kesembuhan warga negara, tapi juga terkait dengan prestis bangsa dan keuntungan finansial sebuah negara. Tantangan kita ialah menemukan proporsi yang pas antara penguatan struktur domestik sembari berkontribusi dalam upaya bersama negara lain menanggulangi persoalan global seperti pandemi Korona dan pelambatan ekonomi.
hi.id: Apakah menurut anda civil market seperti koperasi di Indonesia dapat maju berkembang di masa pandemi dengan memanfaatkan kelesuan ekonomi global?
Y.E:
Saya optimis jika koperasi Indonesia kukuh menjalankan ideologi dan merawat pasarnya, civil market-nya, dan juga tidak diintervensi berlebihan seperti lewat pengerdilan koperasi melalui regulasi dan monopoli pengelolaan lewat Dekopin, ia sebagai institusi dan civil market-nya bisa maju berkembang dengan baik. Apalagi jika pemerintah ajeg dan jejeg (istikamah) memenuhi amanat konstusi menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Contohnya sederhana, perhatikan bagaimana sebagian warga subsisten memenuhi kebutuhannya saat pandemi lewat urban farming atau urban gardening. Terputusnya mata rantai suplai global akibat pandemi membuat beberapa kebutuhan dapur—terutama produk impor—menghilang dari pasar atau harganya melambung tinggi. Buah lemon, misalnya, yang selalu mengandalkan impor dari China atau Australia. Sempat hilang dari pasar untuk kemudian muncul kembali dengan harga sangat tinggi.
Lewat urban farming, berkebun di sepetak tanah milik kita sendiri, warga bisa memenuhi kebutuhannya secara lokal. Kita harus garisbawahi kata “lokal” karena dari bibit, proses dan media tanam, penanam, hingga proses berbagi atau pemasaran, semua dilakukan oleh warga kita. Ambil contoh yang dilakukan oleh Rara Sekar—mantan vokalis Banda Neira, kakak penyanyi Isyana Saraswati, yang ayahnya juga dosen HI Unpar, Sapta Dwikardana. Ia menggiatkan dan mengampanyekan berkebun di halaman sempit lingkungan perkotaan berkeja sama dengan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Tani Center IPB. Dengan urban gardening ini, warga bisa sekaligus melawan sistem ekonomi kapitalistik dan globalisasi neoliberal yang bertumpu pada pola hubungan penuh ketimpangan nan ekspolitatif, individualistik, dan menguntungkan segelintir orang. Benar kata Rara Sekar bahwa dari urban gardening kita tak hanya bisa belajar bercocok tanam dan menguatkan ketahanan pangan, tapi juga memahami hubungan alam dan manusia dengan lebih baik agar kita terhindar dari krisis lingkungan. Pun krisis kemanusiaan.
hi.id: Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak pada ekonomi global yang kapitalistik dan profit oriented. Menurut pendapat anda, apa yang (seharusnya) dilakukan oleh civil market dengan memanfaatkan kondisi perubahan struktur di level internasional ini?
Y.E:
Di balik kisah sedihnya, pandemi ini juga menyimpan berkah. Macetnya globalisasi neoliberal dan ekonomi kapitalistik seperti yang saya tulis di buku ini, memaksa negara untuk meninjau ulang strategi dan kebijakan ekonomi-politiknya yang terlalu bertumpu pada asupan global dan tak cukup hirau pada sumber daya lokal. Jadi ada baiknya kita juga melihat sisi terang dari musibah ini. Civil market bisa memanfaatkan macet dan rapuhnya struktur internasional yang dipilari ekonomi kapitalistik dan globalisasi neoliberal dengan membangun sinergi kekuatan lokalis dan—tentunya—memanfaatkan sumber daya lokal. Kekuatan lokalis tidak hanya negara. Jika negara tak bisa kita harapkan kekuatan lokalis bisa dimunculkan dari sub-negara atau aktor transnasional.
Mari kita kembali pada contoh soal kemandirian lokal yang berupaya subsisten, memenuhi kebutuhan sendiri, lewat urban farming. Dalam ruang lingkup yang lebih besar, urban gardening secara mandiri dapat menjadi cara sederhana dan murah masyarakat untuk melawan tangan-tangan kekuasaan global. Kegiatan yang kelihatan remeh ini bisa menjadi gerakan sosial yang dahsyat. Apalagi kegiatan ini juga punya misi sosial: sinergi antara warga kota yang memiliki daya beli dengan produsen pangan dari warga kota kelas bawah serta misi lain, yakni penguatan solidaritas nasional dan transnasional. Lewat sebuah webinar “Sistem dan Cadangan Pangan Komunitas di Masa Pandemi”, muncul gerakan dari warga, Buy 1 Give 1 yang berdasarkan prinsip sabilulungan, atau gotong royong sambung keperluan.
Foto: Yusli Effendi, S.IP., M.A
Sekarang mari kita bayangkan bagaimana gerakan urban farming ini terhubung dengan koperasi warga yang mandiri, berdaulat, dan berideologi kerakyatan kuat. Apalagi, syukur-syukur, kemudian terhubung dengan jejaring koperasi warga di sesama negara Selatan. Sepertinya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi komunitas yang terwadahi dalam koperasi tidak akan menjadi “mimpi yang kelamaan”.
Hal yang sama juga saya cermati sedang dilakukan oleh mas Virtuous Setyaka, dosen HI Unand, yang menggagas Koperasi Mandiri Dan Merdeka (KMDM) di Padang. Ia layak kita berikan kredit untuk menjadi inisiator koperasi penghubung antara produsen pangan kelas bawah di kota dan desa dengan konsumen kelas menengah-atas di perkotaan sembari mengedukasi pelestarian lingkungan.
hi.id: Apa yang ingin anda sampaikan kepada masyarakat umum maupun penstudi Hubungan Internasional melalui buku ini?
Y.E:
Sederhana saja: tetap berbahagia, berdoa dan berkarya di masa tirakat seperti saat pandemi ini. Semoga dengan terus berkarya di tengah keprihatinan kita bisa terus merawat dan mensyukuri iman dan imun kita.
hi.id: Apakah anda bersedia dihubungi terkait buku Glokalisasi - Gerakan Sosial, Kewargaan dan Komunitas Lokal?
Y.E:
Ya, saya bisa dihubungi melalui email y.effendi@ub.ac.id
hi.id: Terima kasih atas kebersediaannya menjawab pertanyaan dari kami. Semoga karya anda bermanfaat bagi masyarakat umum maupun para penstudi Hubungan Internasional.