Dilema Indonesia: Green Water Navy dan Poros Maritim Dunia

  • Apr 10, 2020
  • /
  • Opini
  • /
  • Admin
  • 4671

Ditulis oleh Arif Sulistio Budi (Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Sebelas Maret)

Editor: Virtuous Setyaka


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) - selanjutnya disebut Indonesia - dikategorikan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagai negara kepulauan, kedaulatan wilayah Indonesia didominasi oleh perairan. Mengingat posisi geografis Indonesia yang strategis diantara dua benua dan dua samudera, maka wilayah perairannya termasuk padat dari segi jalur pelayaran internasional. Pelayaran merupakan moda perhubungan paling populer di dunia karena efektivitas perpindahan barang antar wilayah dalam jumlah besar dapat terpenuhi. Indonesia merupakan negara penting bagi jalur pelayaran internasional karena memiliki jalur laut yang berfungsi sebagai salah satu penghubung berbagai kawasan di dunia.


Jalur-jalur laut yang dimiliki Indonesia juga sebagai titik rawan terhadap berbagai ancaman keamanan yang datang, baik dari dalam maupun dari luar. Ancaman dari dalam misalnya perompakan dan teorisme. Sedangkan ancaman dari luar dapat berupa pelanggaran lintas batas oleh kapal-kapal dan pesawat asing. Salah satu buktinya yaitu manuver kapal-kapal penjaga pantai Tiongkok di kawasan Natuna. Terlepas dari masalah kedaulatan maritim yang baru-baru ini berkaitan dengan tindakan Tiongkok, hal ini membuktikan Indonesia memiliki tantangan fundamental yang sejak lama sebetulnya sudah disadari. Tantangan tersebut ialah pentingnya upaya negara untuk mampu menjaga luas wilayah lautan yang dimiliki apalagi mengingat pemerintahan Joko Widodo periode pertama selalu ‘bersemangat’ menggaungkan visi Poros Maritim Dunia (PMD).

Image: https://www.indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/indonesia-poros-maritim-dunia


Visi PMD sejatinya berfokus ke pembangunan sektor ekonomi nasional. Visi ini menjadi pengemas berbagai kebijakan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi berbasis kekayaan maritim. Untuk mendukung kelancaran pertumbuhan kekuatan ekonomi nasional yang berbasis kelautan ini, negara perlu menyediakan fasilitas keamanan yang memadai. Bila visi ini tercapai maka Indonesia dapat menjadi pusat perhatian dunia karena kestabilan domestik yang baik sehingga mampu memancing iklim investasi. Hal inilah yang sebetulnya menjadi garis besar PMD.


Masalahnya, PMD merupakan doktrin yang sangat membutuhkan peran sektor keamanan yang berpandangan pertahanan ke luar (outward looking defense). Sektor keamanan yang dimiliki oleh Indonesia aktor utamanya adalah unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI) terutama matra laut. Sektor keamanan laut yang diserahkan kepada TNI Angkatan Laut (AL) sudah sepatutnya menjadi tulang punggung keamanan dan pertahanan nasional mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan. Akan tetapi saat ini, kapasitas TNI AL terbatas oleh sebab minimnya alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dimiliki. Untuk menjaga luasnya perairan negara, TNI AL (Dayana, 2019) hanya memiliki modal 8 kapal utama sekelas fregat, 24 kapal jenis korvet, 139 kapal patroli yang variannya terdiri dari kelas 40 dan 60 meter, 5 kapal selam tipe 209 yang tidak sepenuhnya beroperasi karena sebagian perlu di ‘bengkel’ mengingat 2 diantaranya memiliki masa pakai yang sudah sangat lama, serta 11 pangkalan laut yang tersebar di beberapa wilayah. Hal ini masih sangat memprihatinkan meskipun saat ini keamanan laut juga sudah di tambahkan unsur Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan kapal-kapal patrolinya yang fokus pada pertahanan ke dalam (inward looking defense).


Ditambah lagi seluruh fregat dan korvet yang merupakan bagian alat pemukul utama di matra laut tersebut tidak dapat beroperasi penuh. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya sumber daya energi (bahan bakar) sebagaimana pernah ditekankan oleh Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo ketika masih menjabat sebagai Panglima TNI (Hanifan, 2017). Alat canggih sekelas kapal perang pun membutuhkan pasokan energi yang tidak sedikit untuk sekali berlayar. Itulah mengapa potensi pelanggaran batas wilayah oleh kapal-kapal berbendera asing tidak dapat diantisipasi oleh para personil keamanan di laut, disebabkan oleh terbatasnya bahan bakar bagi kapal perang ataupun kapal patroli untuk dapat berlayar disetiap waktu.


Tidak hanya itu saja, kondisi alutsista di matra laut ini menunjukkan kapasitas Angkatan Laut Indonesia yang masih di level Green Water Navy, sebuah label yang umumnya diberikan kepada angkatan laut negara-negara berkembang karena ketersediaan alutsista matra laut yang umumnya mengandalkan fregat sebagai flagship (Bhakti, 2010). Label ini digunakan sebagai doktrin untuk menunjukkan kemampuan operasional angkatan laut dalam level regional. Ini merupakan posisi tengah bagi kapasitas angkatan laut negara-negara di dunia yang terdiri atas Brown Water Navy yang kapasitasnya terbatas pada pertahanan pesisir serta Blue Water Navy dengan kapasitas operasinya yang global. Label ini juga menjadi cerminan bagi kategorisasi anggaran pertahanan tiap negara. Sebagai negara berkembang, tidak dapat dipungkiri apabila anggaran pertahanan Indonesia tidak terlalu besar meskipun prioritasnya dalam kabinet pemerintahan (periode pertama Joko Widodo), jatah anggaran Kementerian Pertahanan menduduki peringkat tiga besar dibandingkan kementerian lainnya. Faktanya, anggaran besar pada lini pertahanan nasional juga tidak menentukan betapa kuatnya daya tahan negara dari ancaman yang akan datang di masa depan. Bisa jadi, menaikkan anggaran pertahanan memang merupakan kewajiban negara mengingat sudah terlampau banyak alutsista yang perlu diganti atau diperpanjang masa operasionalnya. Kemungkinan lainnya, memang tubuh organisasi TNI yang besar dengan tiga matra (darat, laut dan udara) sehingga anggaran pun harus besar.


Di sisi lain, Andi Wijayanto pernah berkomentar di salah satu media massa mengenai doktrin TNI AL yang telah mengalami penyesuaian bila dibandingkan dengan doktrin TNI AD (Sasangka, 2013). Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi di lapangan saat ini alutsista pertahanan laut Indonesia masih terbatas dan sebaliknya malah didominasi oleh pengembangan alutsista di matra darat. Bagaimana bisa negara yang didominasi oleh lautan, bertumpu pada lautan, dan memiliki potensi besar dari kekayaan maritimnya, meninggalkan kesiapsiagaannya pada wilayah lautan yang merupakan miliknya dan harus dijaganya sendiri?

Foto: Arif Sulistio Budi


Bila dipikirkan kembali, apa hubungan antara doktrin PMD dengan kapasitas TNI AL yang masih berada di level Green Water Navy? Sudah jelas kedua hal ini saling bertentangan. Bagaimana tidak, bahkan doktrin PMD saja merupakan sebuah grand strategy yang sifatnya mengglobal dan dampaknya diharapkan mencapai level internasional namun jika dilihat dari sektor penjamin keamanannya yaitu TNI AL masih terkendala pada kemampuan operasi yang terbatas pada regional saja. Belum lagi, bagaimana dengan ketahanan operasi bagi alutsista matra laut yang untuk saat ini masih tidak bisa aktif sepenuhnya karena pasokan energi yang terbatas bagi kapal-kapal perangnya. Pesimisme dalam artikel ini merupakan opini yang menjadi penyebab munculnya pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Seperti misalnya, apakah Visi PMD ini hanya sebuah angan-angan yang terlampau jauh membawa gegap gempita masa lalu? Visi ini sudah meredup dengan segala problematika yang ada. Istilahnya, mengandalkan momentum saja tidak cukup untuk mengungguli lawan di medan tempur.

Sumber:
Anggit S. Dayana (2019). Kekuatan Militer Indonesia 2019, dari Senjata hingga Pasukan Khusus. Tirto.Id. Diakses pada 4 April 2020. https://tirto.id/kekuatan-militer-indonesia-2019-dari-senjata-hingga-pasukan-khusus-egpl


Aqwam F. Hanifan (2017). Kekuatan TNI Gagap Menghadapi Ancam Perang Modern. Tirto.Id. Diakses pada 4 April 2020. https://tirto.id/kekuatan-tni-gagap-menghadapi-ancaman-perang-modern-cxP4


Bambang Aris Sasangka (2013). Tank Baru TNI AD: Punya Alutsista BaruBaru, Doktrin Pertahanan Perlu Disesuaikan. SoloPos.Com. Diakses pada 2 April 2020. https://m.solopos.com/tank-baru-tni-ad-punya-alutsista-baru-doktrin-pertahanan-perlu-disesuaikan-345469

Ikrar Nusa Bhakti (2010). Peneliti LIPI: Indonesia Harus Miliki Blue Water Navy. LIPI. Diakses pada 7 April 2020. http://lipi.go.id/berita/peneliti-lipi:-indonesia-harus-miliki-blue-water-navy/4626


About The Author

Comments