Reformasi Dewan Keamanan PBB

  • Mar 31, 2020
  • /
  • Artikel
  • /
  • Admin
  • 7626

Penulis: Randhi Satria
(Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah didirikan sejak berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945. Pasca perang besar yang memakan jutaan jiwa dan kerugian finansial bagi banyak negara, PBB hadir menjadi ‘jembatan’ yang menghubungi negara-negara satu sama lain untuk kembali bangkit dari keterpurukan pasca perang dan menata dunia agar menjadi lebih baik.

Ada empat tujuan didirikannya PBB, yang pertama adalah menjaga perdamaian dunia. Kedua, menciptakan hubungan yang baik antara negara. Ketiga, membantu negara-negara dalam bekerjasama untuk meningkatkan kualitas hidup dari masyarakat miskin, mengatasi masalah kelaparan, penyakit dan buta huruf, serta mendorong rasa hormat terhadap hak dan kebebasan. Dan yang keempat, menjadi penengah dalam harmonisasi hubungan antar negara.

Selama masa perjalanannya, ada banyak tantangan dan kritik terhadap PBB. Salah satunya adalah kritik terhadap anggota tetap dewan keamanan PBB.Hal ini menjadi bagian yang dibahas dari perdebatan tentang reformasi PBB khususnya yang berkaitan dengan Dewan Keamanan (DK). Artikel ini ditulis untuk mengulas wacana reformasi DK PBB sekaligus dalam rangka (akan) menyambut ulang tahunnya yang ke-75.

DK PBB menjadi salah satu posisi istimewa yang sarat akan prestige di PBB. Sejak berdirinya PBB, anggota tetap DK PBB diisi oleh lima negara pemenang perang yaitu Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Russia (Uni Soviet), dan China. Lima negara ini dianggap telah berkontribusi besar terhadap berakhirnya Perang Dunia II dengan menaklukkan Axis power (blok poros) yang terdiri dari Italia, Jerman dan Jepang. Sebagaimana pepatah realis yang mengatakan “the winner get what they want and the weak suffer what they must”, negara pemenang perang ini memposisikan diri mereka sebagai ‘para penjaga keamanan’ dan merupakan negara-negara yang mendukung berdirinya PBB.

Pada awalnya, DK PBB terdiri dari 11 negara anggota sampai kemudian diamandemen pada tahun 1963 menjadi 15 negara. Anggota tetap DK PBB terdiri dari 5 negara yang telah disebutkan. Sedangkan 10 sisanya merupakan anggota tidak tetap, yang posisinya dirotasi setiap 2 tahun sekali. Selain itu ada pula 50 non-council member states. Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang pernah tiga kali duduk sebagai anggota tidak tetap DK PBB. Terakhir Indonesia terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB pada tahun 2018 dengan masa jabatan sampai 30 Desember 2020.

Seiring dengan berjalannya waktu, wacana tentang reformasi PBB turut menyeret masalah posisi keanggotaan DK PBB. Salah satu akar permasalahan yang mendorong reformasi ini adalah anggapah bahwa DK PBB tidak merepresentasikan kepentingan ataupun pandangan banyak negara, hanya lima negara anggota tetap saja. Anggapan miring ini dapat dilihat juga dari anggota tetap DK PBB yang sering menggunakan kekuasaannya dan terlibat dalam konflik internasional dengan mengatasnamakan menjaga stabilitas keamanan internasional. Alih-alih menjaga keamanan dunia, para negara anggota tetap DK PBB malah sering kali memperburuk kondisi konflik yang ada.

Image: https://www.dailysabah.com/op-ed/2019/09/24/representation-problems-in-the-current-un-security-council

DK PBB juga dianggap tidak mampu memberikan kontribusi sesuai dengan harapan negara-negara dalam penyelesaian masalah keamanan di level internasional maupun regional yang disebabkan oleh tarik ulur kepentingan negara anggota tetapnya. Selain itu, eksklusifitas yang dimiliki oleh para anggota tetap dianggap tidak sejalan dengan semangat kebersamaan dan kesetaraan antar negara-negara anggota. Hal-hal seperti ini tentu mengundang tanda tanya tersendiri bagi kredibilitas PBB yang dianggap tidak mampu menjadi representasi dari kepentingan banyak negara. Untuk itu, tuntutan terhadap reformasi DK PBB muncul dan mengundang perdebatan antar delegasi negara.

Video: https://www.youtube.com/watch?v=HPAONq36HKg

Pada tahun 2006, pembahasan mengenai reformasi itu dibahas di PBB. Representasi dari Tanzania misalnya, menyuarakan pentingnya melakukan reformasi DK PBB, kegagalan dalam melakukan reformasi dan ekspansi dari anggota tetap DK PBB dianggap akan mempengaruhi legitimasi dari Dewan. Lebih lanjut dalam pernyataannya, kondisi ketidakadilan ini terlihat jelas di DK PBB dan negara berkembang menjadi korban utama dari ketidakadilan tersebut.

Tanggapan lain datang dari representasi Nauru yang menyebutkan bahwa fungsi DK PBB dianggap tidak relevan dengan keadaan geopolitik saat ini, karena terlalu mewakili kondisi keamanan tahun 1945 sebagaimana ketika awal pembentukannya.

Menanggapi keinginan reformasi DK PBB, pada tahun 2010 Presiden Majelis Joseph Deis mengatakan bahwa keputusan untuk mereformasi terletak di keinginan para negara. Merujuk pada fakta bahwa penambahan keanggotaan DK PBB pernah dilakukan pada 1963 dari 11 anggota menjadi 15 anggota. Meski mayoritas negara-negara menyetujui perlunya reformasi pada DK PBB, perdebatan khususnya terletak pada seberapa besar penambahan DK PBB dan negara mana saja yang akan mengisi penambahan jumlah keanggotaan tersebut?

Pembahasan mengenai reformasi DK PBB pun masih terus berlanjut pada tahun 2015. Wacana penambahan anggota tetap DK PBB memunculkan opsi seperti penambahan berdasarkan region. Representasi dari Sierra Leone, berbicara mewakili negara-negara Afrika, meminta jatah penambahan 2 kursi sebagai anggota tetap DK PBB dan 2 kursi sebagai anggota tidak tetap untuk negara dari Afrika. Tidak tanggung-tanggung, delegasi ini juga meminta jatah hak veto bagi dua negara afrika yang duduk sebagai anggota tetap DK PBB.

Perdebatan mengenai reformasi DK PBB masih terus berlanjut. Pada tahun 2018, menanggapi tuntutan dari para negara anggota yang menginginkan penambahan jumlah kursi anggota tetap DK PBB dan penghapusan hak veto, delegasi Amerika Serikat menyatakan negaranya mendukung untuk ‘ekspansi kecil’ terkait anggota tetap dan anggota tidak tetap. Tapi, ia menolak segala bentuk perubahan atas penggunaan hak veto. Hal senada juga diutarakan oleh delegasi Russia yang membela hak veto.

Image:https://cartoonmovement.shop/cartoon/un-veto-power-64-years-injustice

Dengan banyaknya permasalahan keamanan yang dihadapi sekarang ini, dan tentunya kondisi yang sudah jauh berbeda sejak 1945, tuntutan reformasi DK PBB ini tentu menjadi pembahasan penting di PBB. Tuntutan reformasi terhadap DK PBB sejauh ini agaknya lebih memungkinkan untuk diarahkan pada perluasan (penambahan) anggota tetap dan anggota tidak tetap DK PBB. Penambahan keanggotaan ini bisa diisi oleh negara berdasarkan region tertentu untuk mewakili regionnya di DK PBB. Akan tetapi apakah negara-negara tersebut memiliki hak veto sebagaimana 5 negara utama? Saya rasa untuk yang satu ini tidak akan terwujud.

Pembahasan mengenai reformasi DK PBB ini masih akan berlanjut beberapa tahun ke depan, atau bisa juga lebih lama lagi. Menarik untuk dilihat lebih lanjut apakah pasca reformasi tersebut PBB mampu menjadi organisasi yang lebih baik atau justru akan memperumit masalah yang sudah ada dengan semakin banyaknya tarik ulur kepentingan antar negara di anggota tetap dan anggota tidak tetap DK PBB. Karena perubahan itu perlu, maka perubahan pula yang diharapkan dari organisasi internasional ini sejak kurang lebih 75 tahun organisasi ini berdiri. Tentunya, DK PBB juga termasuk dalam hal yang membutuhkan perubahan.


Tags:

About The Author

Comments