100 Tahun Hubungan Internasional
- Feb 27, 2020
- /
- Buku
- /
- Admin
- 6174
Profil Buku
Judul: 100 Tahun Hubungan Internasional – Perkembangan Teori, Isu, dan Masa Depan Politik Dunia
Editor: Mohamad Rosyidin dan Ali Maksum
Penerbit: The Phinisi Press
Tahun: 2019
HubunganInternasional.id (hi.id): apa yang melatarbelakangi penulisan buku ini?
Mohamad Rosyidin, S.Sos., M.A (M.R): Buku ini ditulis untuk memperingati 100 tahun ilmu HI yang berdiri sejak 1919. Momen ini penting sebagai bahan refleksi kritis kita sebagai insan akademik HI di Indonesia; kira-kira apa yang sudah dicapai ilmu HI di Indonesia serta bagaimana prospek ilmu HI ke depan. Di Indonesia sendiri, saya melihat kurangnya gairah para akademisi HI untuk menulis karya dalam rangka memperingati seabad ilmu HI. Saya melihat kekosongan literatur di luar buku-buku ajar standar yang sudah banyak bermunculan belakangan ini. Jarang sekali saya melihat ada karya yang mencoba mengomentasi atau melakukan telaah kritis terhadap perkembangan studi HI kontemporer. Kekosongan literatur inilah yang kami coba isi melalui karya ini.
(hi.id): bagaimana anda melihat sejarah munculnya studi Hubungan Internasional?
(M.R): Di awal kemunculannya, ilmu HI itu didirikan dengan tujuan yang amat mulia yaitu mencegah perang antarnegara. Atau bahasa sederhananya ilmu untuk menciptakan perdamaian dunia. Tujuan yang sekarang menjadi bahan tertawaan saja sebab secanggih apapun ilmu HI memberikan analisisnya, toh perang tak bisa dicegah. Sebuah perdebatan abadi antara realis dan liberalis. Namun terlepas dari hal itu, kelahiran ilmu HI setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, ilmu HI bersifat ideologis karena dipengaruhi oleh prinsip-prinsip liberalisme. Upaya mewujudkan perdamaian dunia karena trauma akan Perang Dunia I jelas mencerminkan visi liberal. Jika Woodrow Wilson berupaya mendamaikan dunia lewat jalur organisasi internasional (Liga Bangsa Bangsa) maka ilmu HI mendamaikan dunia lewat jalur riset ilmiah. Kedua, ilmu HI sangat bias karena kelahirannya dibidani oleh negara Barat (AS dan Inggris). Ilmu HI pada mulanya adalah ‘ilmu Barat’ yang kemudian diadopsi oleh masyarakat dunia menjadi seolah-olah universal. Karena lahir dari peradaban Barat, tak heran apabila teori-teori dan konsep-konsep yang muncul di kemudian hari sangat dipengaruhi oleh pengalaman Barat.
(hi.id): Ada tiga great debate dalam studi Hubungan Internasional. Menurut anda apa kontribusi dari tiga great debate tersebut terhadap perkembangan studi Hubungan Internasional kontemporer saat ini?
(M.R): Dari ketiga debat HI, debat ketiga (positivisme vs pospositivisme) saya kira yang paling berpengaruh. Hal ini lantaran debat ini menyasar isu epistemologi dan metodologi HI. Penganut positivisme menuntut HI mengadopsi cara-cara ilmu alam supaya derajatnya ‘ilmiah’. Sebaliknya, penganut pospositivisme menganggap ilmu HI sebagai bagian dari ilmu sosial-humaniora tidak bisa dipelajari serupa dengan cara kerja ilmu alam. Kubu pospositivis menyodorkan metode penafsiran yang dipandang lebih sesuai dibanding model hubungan sebab-akibat yang ditawarkan kaum positivis.
Hingga kini, perdebatan kedua perspektif tetap sulit didamaikan. Namun harus diakui bahwa sependek pengetahuan saya, pendekatan positivis boleh dikatakan lebih unggul dibanding pendekatan pospositivis dalam hal kontribusinya bagi studi HI kontemporer. Buktinya, mayoritas karya akademik HI mengadopsi pendekatan positivis. Hal ini menunjukkan bahwa pospositivisme belum cukup berhasil dalam menarik minat ilmuwan HI untuk menggunakan model analisis mereka. Belum lagi secara teknis pendekatan pospositivis yang relatif lebih ‘sulit’ dibanding positivis yang lebih sederhana. Meski demikian, perspektif pospositivisme telah memberikan nuansa berbeda dalam memahami HI, tidak melulu berkutat pada terminologi ‘faktor penyebab’ melainkan interpretasi yang lebih beragam dan kreatif.
(hi.id): Di dalam buku ini anda turut membahas masalah Teori Hubungan Internasional non-barat di Indonesia. Tolong jelaskan mengapa diskursus ini muncul dalam studi Hubungan Internasional? Dan bagaimana menurut anda prospek pendekatan non-barat ini ke depannya?
(M.R): Teori HI non-Barat muncul sebagai debat akademik ketika Amitav Acharya dan Barry Buzan menulis artikel tahun 2007 dengan judul “why is there no non-western IR theory?” Pertanyaan ini penting karena menggugah kesadaran kita sebagai insan HI non-Barat bahwa selama ini kita hanya mengonsumsi teori-teori HI Barat tanpa menyumbangkan sedikitpun pemikiran di luar arus utama. Pertanyaan itu sekaligus menjadi bahan interospeksi kira-kira apa sebabnya masyarakat non-Barat tidak mampu melahirkan teori-teori HI versi mereka sendiri. Di buku ini, saya beranggapan bahwa perspektif poskolonialisme relevan untuk menjawab pertanyaan itu. Meminjam konsep Syed Farid Alatas, faktor utama tumpulnya kreatifitas akademisi non-Barat untuk mencetuskan teori mereka sendiri adalah ‘benak terbelenggu’ (captive mind), yakni sebuah kondisi dimana pola pikir yang memandang teori-teori Barat begitu adiluhung dan memadai untuk menjelaskan realitas non-Barat.
Sindrom benak terbelenggu ini menumpulkan daya kritis terhadap pemikiran Barat sehingga mudah bagi kita sebagai masyarakat non-Barat merepetisi, mereplikasi, dan mereproduksi gagasan-gagasan Barat. Padahal, kalau kita mau menengok ke dalam, Indonesia punya banyak sumber inspirasi guna merumuskan perspektif kita sendiri. Menurut Qin Yaqing, budaya merupakan bahan baku utama dalam upaya teorisasi HI. mengapa budaya? Sebab budaya menyediakan cara pandang masyarakat tentang dunia (worldview). Aneka ragam budaya Indonesia sebenarnya cukup potensial diangkat di tingkat global dalam bentuk pemikiran tentang HI. Budaya Jawa contohnya, sudah diteliti oleh banyak Indonesianis asing. Hanya saja, akademisi HI amat jarang menggunakan hasil-hasil riset itu untuk merumuskan teori HI. Selain itu, faktor sejarah juga penting bagi teorisasi HI non-Barat. Sebagai negara bekas jajahan, sejarah Indonesia tentu kontras dengan Barat sebagai penjajah. Pengalaman sejarah ini penting untuk mengidentifikasi bagaimana Indonesia memandang dunia. Jadi, persoalannya bukan apakah kita mempunyai ‘bahan baku’ teori HI non-Barat melainkan maukah kita mendobrak kekakuan berpikir yang selalu berkiblat pada teori-teori HI Barat?
Image: Mohamad Rosyidin
Sumber: FB
(hi.id): Ada beberapa poin menarik yang anda tulis di dalam buku anda terkait prospek masa depan studi Hubungan Internasional salah satunya adalah masalah melebarnya jurang antara teori dan praktik dalam Hubungan Internasional. Menurut pendapat anda, mengapa hal ini muncul? Apa solusi yang anda tawarkan terkait masalah ini?
(M.R): Jurang antara teori dan praktik sudah menjadi bahan perdebatan sejak lama, khususnya di AS karena ilmu HI diharapkan dapat memberikan masukan bagi perumusan kebijakan luar negeri AS. Jurang ini tetap sulit dijembatani hingga kini karena sejumlah alasan. Pertama, dunia akademik dan birokrasi amat berbeda kulturnya. Dunia akademik berfokus pada riset yang orientasinya adalah penemuan teori atau konsep baru. Aktivitas riset ini berlangsung cukup lama. Pada peneliti ibarat pemburu yang selalu penasaran dengan ke mana larinya hewan buruannya. Peneliti akan terus menggali data untuk mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri. Sebaliknya, dunia birokrasi tidak butuh analisis njlimet dan memakan waktu seperti itu. Pembuat kebijakan membutuhkan solusi segera yang dapat diimplementasikan. Karena itu, yang mereka butuhkan adalah gagasan-gagasan konkret, bukan teori atau konsep yang abstrak. Kedua, dalam kasus khusus Indonesia, pemerintah agaknya kurang menaruh minat pada riset sebagai dasar perumusan kebijakan. Research-based policy belum menjadi budaya di Indonesia. Hal ini berbeda dengan di negara-negara maju dimana lembaga-lembaga riset dan perguruan tinggi menyuplai gagasan sebagai bahan masukan bagi pemerintah mereka. Di Indonesia, pemerintah agaknya lebih senang berjalan sendiri ketimbang melibatkan kalangan akademisi. Alhasil, pemerintah membuat kebijakan berdasarkan logika mereka sendiri sementara pada saat bersamaan kalangan akademisi nyaman berdiri di menara gading. Untuk menjembataninya, paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, pemerintah perlu mengubah pola pikir bahwa riset penting bagi kebijakan. Pemerintah tidak boleh alergi terhadap riset. Kalau boleh berpendapat, pemerintah Indonesia saat ini terkesan antipati terhadap intelektualisme dan memilih pendekatan praktis dan pragmatis. Pemerintah perlu mendukung dan membudayakan research-based policy seperti yang dilakukan di negara-negara maju.
Kedua, kalangan akademisi perlu ‘turun gunung’ untuk memproduksi gagasan-gagasan inovatif yang memberikan dampak terhadap kebijakan. Publikasi harus lebih banyak bersentuhan dengan aspek perumusan kebijakan. Terbitan yang dikelola lembaga riset, pusat studi, maupun universitas sebaiknya berorientasi pada produksi pengetahuan yang relevan untuk kebijakan (policy relevant knowledge).
Ketiga, hubungan pemerintah dan dunia kampus harus lebih erat. Perlu peningkatan kerjasama yang lebih intensif antar kedua lembaga. Pertemuan-pertemuan ilmiah seperti lokakarya, workshop, seminar, dan diskusi ilmiah harus lebih sering dilakukan. Hal ini penting untuk menjembatani perbedaan cara pandang antara kalangan birokrat dan akademisi.
(hi.id): Terima kasih atas kesediaannya menjawab pertanyaan dari kami. Semoga karya anda bermanfaat bagi banyak pihak baik praktisi maupun akademisi Hubungan Internasional.