Ancaman, Perlindungan dan Status Kewarganegaraan
- Feb 20, 2020
- /
- Artikel
- /
- Admin
- 3259
Oleh: Randhi Satria (Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Sebelas Maret)
Negara sebagaimana fungsinya, dibentuk berdasarkan kesepakatan untuk melindungi segenap kepentingan masyarakat di dalamnya dari ancaman. Persepsi tentang ancaman tentunya berbeda-beda, meski demikian pemerintah dengan mengatasnamakan masyarakat maupun masyarakat mengatasnamakan diri mereka sendiri bisa melakukan identifikasi dan klasifikasi hal yang dianggap sebagai ancaman.
Dalam konteks perlindungan terhadap warga negara di dalam negeri, hal ini sudah sering kita lihat. Sebut saja kehadiran negara dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat ketika terjadi musibah, menjaga stabilitas bahan pangan, menjaga keamanan ataupun ancaman dan lain sebagainya. Semua kegiatan tersebut adalah beberapa contoh dari perlindungan negara terhadap warga negaranya.
Akan tetapi, dalam konteks kehidupan warga negara di luar negeri, keinginan negara untuk hadir dan melindungi warga negaranya menjadi sesuatu permasalahan yang pelik karena berbenturan dengan kedaulatan negara lain. Terlebih jika ada kondisi tertentu lainnya yang menyulitkan proses pemberian perlindungan maupun pemulangan warga negaranya seperti terjadinya perang ataupun kondisi lainnya.
Dari dalam negeri, respon masyarakat atas pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri pun bisa berbeda. Seperti halnya dalam dua kejadian yang baru-baru ini terjadi. Pemulangan WNI dari Wuhan dan isu pemulangan WNI eks ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) mendapatkan tantangan dan respon yang berbeda dari segi pemerintah maupun masyarakat.
Artikel ini dibuat untuk memberikan analisis singkat terhadap keputusan negara dalam wacana WNI dari Wuhan dan memulangkan WNI eks-ISIS. Mengapa negara mengambil sikap yang berbeda dalam hal ini?
Perlindungan Negara pada Upaya Pemulangan WNI dari Wuhan
Keputusan Pemerintah Indonesia dalam memulangkan WNI dari Wuhan merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam upaya memberikan perlindungan terhadap warga negaranya yang sedang terancam di luar sana. Upaya pemulangan ini berjalan lancar selain karena kesiapan rencana penjemputan juga dikarenakan sikap kooperatif negara tujuan.
Akan tetapi, upaya ini mendapatkan tantangan tersendiri ketika WNI yang dievakuasi sampai ke Indonesia. Keputusan negara memilih lokasi karantina dari WNI yang dipulangkan di wilayah Natuna mendapatkan respon dari masyarakat setempat. Gencarnya isu yang beredar tentang penyebaran serta dampak dari virus Corona membuat masyarakat Natuna menjadi resah. Masyarakat di Natuna merasa keberatan atas ancaman yang didatangkan ke wilayah mereka. Bentuk keberatan tersebut diwujudkan dalam demonstrasi bahkan sampai eksodus.
Pada kasus ini, pemerintah terlihat dengan jelas siap menanggung resiko dari pemulangan WNI meski saat itu belum diketahui secara pasti apakah ada di antara WNI yang dipulangkan terjangkit virus Corona atau tidak? Pemulangan ini tidak hanya menunjukkan kehadiran negara dalam memberikan perlindungan kepada WNI di luar sana tetapi juga seolah menunjukkan bahwa negara siap dengan segala resiko yang mungkin terjadi dari langkah yang diambilnya.
Sebagai pembanding, negara lain juga ikut memulangkan warga negaranya dari Wuhan yang terancam oleh virus Corona. Negara-negara Eropa seperti Perancis dan Inggris, ataupun negara seperti Amerika Serikat juga ikut memulangkan warga negaranya sebagai bentuk perlindungan negara kepada warga negaranya dari ancaman.
Perlindungan Negara pada Upaya Pemulangan WNI Eks ISIS
Hal yang berbeda terjadi pada (wacana) pemulangan WNI eks ISIS yang beberapa waktu lalu. Wacana ini pada akhirnya harus gugur karena pemerintah tidak bersedia memulangkan kembali WNI eks ISIS. Bahkan status mereka tidak lagi dianggap sebagai WNI. Mengapa demikian? Ada dua hal penting yang harus disoroti dari wacana pemulangan WNI eks ISIS ini.
Pertama, ancaman ideologi yang datang seandainya pemulangan tersebut benar terjadi. Keberadaannya tidak hanya menjadi ancaman bagi masyarakat tetapi juga bagi ideologi negara. Melalui kaca mata negara, ancaman terhadap ideologi ini dianggap sebagai salah satu ancaman terhadap nilai-nilai fundamental yang diadopsi oleh negara. Hal ini lebih lanjut akan berdampak pada tatanan hidup masyarakat yang meliputi sosial, ekonomi maupun politik. Pada tahap ekstrim, pergantian ideologi negara dapat dianggap seperti mendirikan sebuah negara baru.
Kedua, status WNI yang dianggap sudah tidak berlaku lagi. Selain bergabung dengan ISIS, kelompok masyarakat ini juga membakar paspor mereka. Hal ini seolah mengukuhkan posisi mereka yang tidak berniat mengakui Indonesia sebagai negaranya. Atas dasar itulah kemudian Indonesia mencabut status kewarganegaraan mereka. Negara dapat mencabut status kewarganegaraan dari seseorang berdasarkan kondisi tertentu. Apabila hal ini terjadi, maka orang tersebut menjadi berstatus stateless atau tanpa kewarganegaraan. Kewajiban Indonesia dalam memberikan perlindungan dari segala bentuk ancaman yang datang kepada orang tersebut menjadi hilang.
Image: https://spherestandards.org/wp-content/uploads/2018/07/Humanitarian-Charter-cartoons-3.jpg
Kondisi ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Ada yang sepakat dengan keputusan pemerintah ada pula yang masih berharap pemerintah bersedia memulangkan mereka atas dasar kemanusiaan terlebih eks ISIS yang statusnya masih anak-anak. Apapun itu, Indonesia menunjukkan bahwa tidak mau mengambil resiko dari pemulangan eks ISIS. Berbeda dengan pemulangan WNI dari Wuhan, pemerintah tampaknya tidak percaya diri untuk mengambil resiko dari pemulangan eks ISIS. Apakah ini sebagai bentuk ketidakpercayaan pemerintah terhadap program deradikalisasi untuk menetralisir ideologi radikal pada warga negaranya? Atau sekedar mengikuti tindakan dari negara lain yang juga tidak mau memulangkan warga negaranya yang bergabung dengan ISIS?
Sebagai pembanding, pencabutan status kewarganegaraan yang kemudian dilanjutkan dengan penolakan untuk memulangkan kembali warga negaranya yang bergabung dengan ISIS tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Negara lain seperti Jerman juga secara terang-terangan mencabut status kewarganegaraan ganda yang dimiliki oleh warga negaranya yang ikut berperang bersama ISIS. Meski masih mempertimbangkan status anak-anak yang hanya mengikuti orang tuanya bergabung dengan ISIS, wacana yang hampir sama juga mendapatkan pertentangan di Perancis dan Belgia. Negara Eropa lain seperti Inggris dan Denmark pun ikut mencabut status kewarganegaraan warga negaranya yang ikut bergabung bersama ISIS.
Analogi sederhana Pemulangan WNI dari Wuhan dan WNI eks ISIS
Berdasarkan penjelasan di atas sebelumnya mungkin beberapa pembaca sudah memiliki gambaran perbedaan dari dua kasus pemulangan WNI ini. Akan tetapi melalui tulisan ini saya mencoba untuk membuat sebuah analogi sederhana agar masyarakat bisa memahami lebih baik perbedaannya.
Jika negara diibaratkan sebagai sebuah rumah dengan Presiden sebagai kepala rumah tangganya, maka warga negara adalah anak-anak yang mendiami rumah tersebut. WNI yang berada di luar negeri ibarat anak yang sedang main/bertamu/bekerja di rumah orang lain. Meski sedang tidak berada di rumah, kepala rumah tangga tetap berkewajiban untuk menjaga dan melindungi anaknya yang sedang berada di luar karena ikatan dari hubungan yang masih ada.
Berbeda halnya jika ikatan antara anak dan rumahnya terputus. Kepala rumah tangga tidak lagi berkewajiban memberikan perlindungan kepada anak yang status ikatannya dengan rumah sudah putus. Masalah si anak akan mendapatkan rumah baru atau bagaimana nasibnya, bukan menjadi tanggung jawab rumah asal untuk melindunginya. Memulangkannya malah bisa mendapatkan pertanyaan dari anak lainnya tentang komitmen untuk tetap berada dalam satu atap rumah yang sama.
Image: https://www.iconfinder.com/icons/4060822/broken_flown_kite_rope_string_toy_icon
Analogi lain yang saya coba gunakan untuk menjelaskan ini adalah analogi bermain layangan. Ketika benang masih utuh dan terikat kuat pada pegangannya maka sejauh apapun layangan tersebut terbang masih tetap bisa didaratkan dengan cara digulung benangnya. Akan tetapi ketika benang tersebut putus, maka konsekuensinya adalah layangan akan terjatuh tak menentu arah. Apakah pemain layangan akan mengejar layangannya yang terputus dengan resikonya? Atau membiarkannya untuk diambil oleh orang lain? Mengapa tidak bikin saja layangan lainnya?
Akhir Kata
Pemerintah Indonesia sejauh ini telah menunjukkan upaya untuk kembali hadir untuk masyarakat termasuk yang berada di luar negeri. Pada beberapa kasus lainnya seperti Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terancam hukuman mati, pemerintah Indonesia juga terlihat telah aktif untuk memberikan pendampingan kepada rakyatnya. Tidak sampai di situ, Indonesia juga membuka dirinya dari para pengungsi. Meski masih memiliki banyak kekurangan, bukan berarti tempat lain lebih baik. Seperti kata pepatah, lebih baik hujan batu di negara sendiri dari pada hujan emas di negara orang. Apalagi hujan peluru! Lalu, apa alasannya untuk tidak mencintai dan mengakui negara ini?