Indonesia Sebagai Middle Power - Perlucutan Senjata Nuklir dan Komitmen Politik Luar Negeri

  • Jan 20, 2020
  • /
  • Opini
  • /
  • Admin
  • 3193

Penulis: Arif Sulistio Budi (Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Sebelas Maret)

Editor: Virtuous Setyaka


Pada bulan Juni 2019, Indonesia mengirimkan Delegasi ke Swedia tepatnya di Kota Stockholm untuk menghadiri Pertemuan Tingkat Menteri dalam pembahasannya mengenai Perlucutan Senjata Nuklir dan Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir. Sebagaimana telah diketahui sebelumnya bahwa dalam isu ini Indonesia menegaskan posisinya sebagai salah satu aktor Gerakan Non Blok (GNB) yang aktif. Mengingat status Indonesia sebagai salah satu negara yang tidak memegang kendali atas hak kepemilikan senjata nuklir (Non-Nuclear Weapon States/NNWS), sepak terjang Indonesia dalam memainkan peranan negara “penengah” dalam urusan perlucutan senjata pemusnah massal sudah tidak diragukan lagi. Sejak tahun 1994, Indonesia sudah mengemban misi internasional sebagai Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Perlucutan Senjata GNB yang dipraktikkan melalui wadah kerjasama multilateral. Dalam kondisi terbaru saat ini, Indonesia dapat dikatakan mendapat kepercayaan yang cukup kuat untuk menjadi bridge builder mengingat kompetensi dan konsistensi untuk menjalankan Politik Luar Negeri Bebas Aktif. Hal ini salah satunya dibuktikan dengan prestasi Indonesia dalam pertemuan Nuclear Security Summit (NSS) 2010-2016 dengan menawarkan model penyusunan peraturan mengenai keamanan nuklir agar dapat memudahkan koordinasi antar negara dalam pembuatan keputusan di masa depan.


Indonesia dan gagasan perlucutan nuklir tentu saja tidak terlepas dari cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945. Tugas memelihara ketertiban dan perdamaian dunia menjadi senjata pamungkas untuk melegitimasi gaya politik luar negeri yang netral. Gaung agenda pembahasan isu perlucutan nuklir sebagai salah satu program Kemenlu RI tidak hanya berdiri sendiri, beberapa waktu lalu tepatnya pada 2 Juli 2019 pihak Indonesia dan Jerman mengadakan Round Table Discussion (RTD) dengan tema Advancing Peace Diplomacy and Supporting Nuclear Disarmament Agenda di Lemhannas RI untuk membahas isu perlucutan nuklir. Dari pertemuan tersebut menandakan Indonesia juga telah sebelumnya menggunakan kesempatan multilateralisme sebagai perangkat dukungan dalam mencapai agenda politik luar negeri dan kontribusinya di bidang keamanan internasional, yaitu forum Dewan Keamanan PBB. Secara garis besar dan sejauh pengamatan penulis selama menjalankan fungsi notulen di acara tersebut, RTD bertujuan untuk membahas isu nuklir berdasarkan kondisi terkini berupa hubungan yang memburuk antara Amerika Serikat dan Iran, ekspansi Rusia dan bangkitnya kekuatan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Image: http://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/strategies-for-middle-powers/


Isu mengenai perlucutan senjata nuklir dan upaya perdamaian global menjadi agenda bersama bagi kedua negara (Indonesia dan Jerman) mengingat posisi Indonesia yang saat ini merupakan Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020, di mana salah satu anggotanya adalah Jerman. Tidaklah menutup kemungkinan apabila Jerman menunjukkan intensi pendekatan terhadap Indonesia yang salah satunya dicerminkan pada pelaksanaan RTD tersebut. Bagaimanapun para mantan perwira tinggi yang sebagian diantaranya pernah bertugas untuk NATO turut menegaskan bahwa Jerman juga berusaha mengambil jalan tengah mengenai persoalan nuklir mengingat kawasannya (Eropa) saat ini sedang tidak stabil akibat persaingan NATO dengan Rusia. Indonesia pun demikian, mengambil inisiatif untuk mendorong Perlucutan senjata nuklir bersamaan dengan negara seperti Jerman ialah demi menjamin keamanan negara di kawasan.


Keamanan yang dimaksud Indonesia ialah mengambil keuntungan geopolitik dari stabilitas perdamaian global oleh karena berkurangnya penggunaan nuklir sebagai instrumen persenjataan. Hal tersebut didasarkan pada fakta maraknya globalisasi dan berakhirnya Perang Dingin yang membuat proliferasi nuklir meningkat bersamaan dengan kemudahan akses ilmu pengetahuan mengenai pengembangan nuklir dari bahan uranium dan plutonium. Indonesia berusaha untuk mengamankan posisinya sebagai negara non pemilik nuklir dari ancaman dan dinamika konflik global terutama oleh negara-negara pemegang hak dan pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States/NWS). Tidak menutup kemungkinan bahwa nuklir dapat digunakan sebagai alat deterrence oleh negara manapun. Hal tersebut membuat negara-negara yang prihatin akan isu proliferasi senjata nuklir untuk terus menyuarakan gagasannya yang berupa pencegahan ploriferasi bahan-bahan yang tidak terpantau dan sekaligus senjata nuklir. Oleh sebab itu, dapat dikatakan pula situasi politik global saat ini dijadikan oleh Indonesia sebagai salah satu ajang mengejar cita-cita konstitusi UUD 1945 yaitu mewujudkan perdamaian abadi.


Selain karena alasan keamanan, sikap Indonesia yang turut terlibat dalam isu perlucutan nuklir merupakan salah satu strategi yang disebut sebagai middle power. Istilah middle power merupakan konsep yang dapat menjelaskan aktivisme negara-negara second tier dalam hierarki dunia dalam hal ini Indonesia juga termasuk didalamnya. Sejalan dengan pendekatan Emmers dan Teo, Indonesia yang dikategorikan sebagai middle power didasarkan pada rendahnya ancaman keamanan kawasan serta keterbatasan sumber daya nasional sebagai sebuah negara berkembang. Karakteristik dasar bagi Indonesia yang merupakan salah satu dari middle power ialah bersikap fleksibel dan memanfaatkan momentum termasuk dalam pelaksanaan politik luar negeri. Dalam kasus keterlibatan isu perlucutan senjata nuklir, Indonesia memanfaatkan momentumnya sebagai anggota tidak tetap DK PBB. Sebagai sebuah negara middle power, Indonesia memiliki kehendak untuk dapat berperan optimal dalam teater politik internasional secara low hanging fruit. Meningkatnya peranan Indonesia di forum internasional terutama isu perlucutan nuklir seharusnya dapat meningkatkan kredibilitas bangsa di mata dunia.

Foto: Arif Sulilstio Budi


Langkah Indonesia sebagai middle power ini dilakukan dengan cara menampilkan diri sebagai entitas nasional yang tidak menentang kehendak standar ganda negara-negara besar pemilik nuklir (big five). Indonesia tidak berniat melakukan perlucutan senjata nuklir (secara paksa) yang telah dimiliki sebelumnya oleh negara-negara superpower maupun beberapa negara di luar lingkaran big five. Menyadari bahwa standar ganda yang diterapkan oleh big five menjadi hambatan utama bagi negara-negara non pemilik persenjataan nuklir termasuk Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia memainkan peranan untuk mendorong perlucutan senjata nuklir dengan tidak melihatnya sebagai fungsi persenjataan semata melainkan melakukan inisiatif perlucutan dengan menggeser sifat nuklir dari eksistensi awalnya sebagai senjata menjadi sebuah perangkat lain yang lebih berguna. Dengan kata lain, Indonesia menempatkan ide perlucutan senjata nuklir sebagai gagasan untuk mendapatkan legitimasi internasional dan mengajak negara-negara lain untuk turut serta mendukung sekaligus membawa gagasan untuk mengalihkan fungsi senjata nuklir menjadi seperti misalnya sumber daya energi untuk kesejahteraan masyarakat global. Dengan cara itu, Indonesia berperan tegas menolak pengayaan uranium nuklir tujuan yang destruktif dan sebaliknya nuklir dan segala hal yang berkaitan dengannya seharusnya diberdayakan secara multiguna.


About The Author

Comments