Agama dalam Pengaruh Politik Luar Negeri Indonesia

  • Nov 18, 2019
  • /
  • Opini
  • /
  • Admin
  • 4295

Penulis: Ulya Zein Wiguna (Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Sebelas Maret)

Editor: Virtuous Setyaka

Dari cacian Islam KTP hingga Isu LGBT, pergolakan domestik tak jauh dari agama islam. Bukan sesuatu yang mengherankan bagi banyak orang, mengingat Indonesia ini negara berbangsa dengan populasi islam terbesar di muka bumi. Dari “million friends zero enemy” era SBY, hingga upaya diplomasi Jokowi angkat citra islam di dalam dan luar negeri, konsepsi agama selalu jadi tempat pulang saat adu pendapat tak kunjung padam. Media sosial yang mulai ramai pada abad ke-21 menjadi perantara terdramatis, berbekal kekayaan ilmu yang manis dari para intelektualis dan mentalitas yang tak berbatas. Orang – orang tua berbincang perpolitikan di facebook, para anak muda mengkritisi regulasi pemerintah di twitter, yang ternyata semua itu berpengaruh terhadap kebijakan politik luar negeri Indonesia itu sendiri.

Image: https://nalarpolitik.com/politisasi-agama/


Era Sukarno hingga Megawati, posisi Islam tidak terlalu terlihat dalam agenda diplomasi luar negeri. Memang, Indonesia turut serta dalam pertemuan-pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI), namun sifat partisipasinya parsial hanya sebatas pengamat. Negara - negara muslim Timur Tengah bahkan hanya minyak dan ibadah haji saja yang menggiurkan bagi Indonesia, tidak terdapat nilai religius seperti solidaritas dunia Islam dalam kebijakan – kebijakan saat itu. Siapa yang tidak tau politik luar negeri bebas aktif milik Indonesia, bebas memilih tanpa pengaruh luar sekaligus aktif bermain peran di kancah internasional. Kendati demikian, Presiden SBY mereorientasikannya ke segala arah. Sangat terlihat bagaimana Islam sangat berperan dalam menopang diplomasi Indonesia kala berinteraksi dengan dunia Internasional, lebih-lebih dunia Islam, faktor konstituen domestik dan ormas moderat di Indonesia menjadi salah satu penopang misi politik luar negeri pemerintah terutama saat merespon isu-isu kontemporer. Era SBY ini memperlihatkan bagaimana faktor intermestik dan internasional sangat menentukan arah politik luar negeri Indonesia.


Tiba di era Jokowi, terlihat penguatan politik identitas Islam di tanah air, efek Jokowi dan Ahok yang sangat viral, mungkin. Sejak itu Jokowi terus berusaha mengangkat citra Islamnya di hadapan publik dalam negeri, digandrungi dengan terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi dalam Pilpres 2019 mempertegas langkah tersebut. Upaya Jokowi mentransformasikan kebijakan luar negeri tertanam pada kegiatannya bersama Kuwait menyusun rancangan resolusi untuk mengutuk aksi kejam Israel. Tak hanya itu, kritikan keras juga dilayangkan kepada kebijakan AS dan Australia yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, sebuah langkah yang dinilai populer bagi citra pemerintahan Jokowi di dalam negeri. Presiden dua periode ini juga sangat simpati terhadap kasus pembantaian Rohingya di Myanmar. Beliau dengan serta merta menginstruksikan Menlu Retno untuk melawat ke Myanmar untuk mendesak pemerintah mereka agar menjamin segala akses organisasi kemanusiaan.


Ditengah kesigapan beribadah, diambang kemasyhuran toleransi, rupanya masih ada saja yang memandang minoritas sebelah mata. Isu sulitnya membangun tempat ibadah kian terjadi, persoalan yang muncul ada saja, hukum seringkali gagal dalam memecahkan seonggok masalah yang berlalu lalang. Dari fakta demikian, kemudian islam moderat menjadi aset Kemenlu dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia. Hanya di Indonesia, Islam demokrasi dan modernity itu hidup saling berdampingan dan mendukung. Serta Dialog Lintas Agama (DLA/Interfaith Dialogue), sebagai salah satu program strategis dalam diplomasi Indonesia.

Foto: Ulya Zein Wiguna


Namun, belum saja lepas dari konflik minoritas, ditengah proses Islamisasi kehidupan bangsa masa kini, nasionalisme Indonesia justru tampak kedodoran karena sudah lama menderita cacat berat. Indonesia tiba di sebuah persimpangan jalan seiring ketegangan menajam antara dua kiblat moralitas dan politik. Dalam praktiknya, masyarakat kian tak terhindar hadapi ancaman – ancaman dari dalam. Beragam kelompok dan kegiatan Islami bersaing keras, isu radikalisme dan terorisme kaum – kaum islam garis keras tak kunjung padam, respon masyarakat terhadap perpolitikan dalam negeri dengan mengatasnamakan agama menjadi titik perdebatan bodoh dan tidaknya para manusia di bumi. Aksi damai yang kerap kali mencatat sejarah Indonesia membuat pemerintah harus ciptakan kebijakan baru untuk menangkal dampak negatif ekonomi negara.


Jika ingin mengupas lebih dalam, masih banyak isu – isu agama yang kerap kali menjadi santapan rutin rakyat negara besar ini. Kondisi domestik yang terus mengalami perseteruan inilah yang tentu menjadi bahan melahirkan kebijakan – kebijakan politik luar negeri Indonesia, negara mana yang tak ingin citranya baik di muka dunia. Globalisasi yang melulu dimanjakan oleh sosial media menjadi mediator adu pendapat dan menjadi produsen teori – teori baru di masyarakat. Lalu kepada siapa lagi pemerintah akan mempersembahkan hasil otaknya jika bukan kepada masyarakat itu sendiri?


About The Author

Comments