Infiltrasi Kepentingan Nasional Indonesia dalam Partisipasi Aktif Pasukan Penjaga Perdamaian PBB
- Oct 21, 2019
- /
- Opini
- /
- Admin
- 3049
Penulis: Nadhifa Aliya Amani (Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Sebelas Maret)
Editor: Virtuous Setyaka
Politik luar negeri Indonesia kerap kali diasosiasikan dengan prinsip bebas-aktif sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi 1945. Mohammad Hatta memaknai “bebas” sebagai ketidakberpihakan Indonesia dalam blok tertentu dan “aktif” sebagai partisipasi penuh dalam upaya menjaga perdamaian dunia (Hatta, 1976). Hal ini kemudian dikristalkan sebagai tujuan nasional yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Bertolak dari dasar negara tersebut, ketertiban dunia yang didambakan oleh Indonesia mencakup lingkup internasional dan tidak terpasung pada batas nasional atau regional semata. Beberapa dekade telah berlalu sejak pencetusan orientasi politik luar negeri tersebut dan hingga kini,semangat yang sama tetap digaungkan oleh para diplomat Indonesia.
Amanat para pendiri bangsa untuk menjaga perdamaian dunia tersebut tetap dijaga dan dipelihara, salah satunya diimplementasikan melalui partisipasi aktif dalam United Nations Peace Keeping Operations (UNPKO) atau Pasukan Penjaga Perdamaian PBB. UNPKO merupakan instrumen penting bagi PBB yang digunakan untuk menjaga dan memilihara perdamaian dunia (United Nations, 2018). Di bawah naungan UN Blue Helmet, seluruh negara mengirimkan pasukan terbaiknya untuk tergabung dalam misi keamanan internasional. Partisipasi negara dalam UNPKO diwujudkan dalam kontribusi finansial dan pengiriman personel keamanan.
Meskipun perkara ini dialamatkan dalam bentuk tanggung jawab seluruh negara anggota PBB, namun dalam praktiknya, ditemukan banyak negara yang mangkir dari pemenuhan misi tersebut. Beberapa melaksanakan secara penuh amanat ini, beberapa hanya mengirimkan segelintir personel, beberapa hanya memberikan bantuan finansial, dan tidak sedikit pula yang total abai atas tanggung jawab ini. Tidak adanya titik temu antara kepentingan suatu negera dengan agenda kemanusiaan yang dijalankan oleh UNPKO merupakan kausa realis di balik partisipasi pasif sejumlah negara.
Image: https://peacekeeping.un.org/en/indonesia
Fenomena ini lantas menimbulkan pertanyaan dan sekelumit spekulasi tentang adanya motif di balik partisipasi aktif suatu negara. Benarkah kontribusi negara berlandaskan asas kemanusiaan dan dijalankan atas dasar iktikad baik negara? Atau sejatinya terdapat kepentingan-kepentingan yang diselundupkan bersama pengerahan pasukan ini? Perdebatan ini dijelaskan oleh Laura Neack (1995) yang melihatnya dari dua perspektif berseberangan, yaitu melalui perspektif idealis dan perspektif realis. Asumsi pertama menyatakan bahwa partisipasi negara dalam UNPKO bersifat altruistik yang dilatarbelakangi oleh kewajiban untuk menjaga perdamaian internasional, bahkan ketika ia tidak memiliki kepentingan dalam upaya tersebut. Hal ini terjadi karena adanya dorongan dari nilai-nilai normatif internasional.
Sedangkan asumsi kedua menjelaskan bahwa keterlibatan ini digunakan sebagai sarana dalam mencapai kepentingan negara, dimana dalam perspektif ini kepentingan nasional tidak terbatas pada hard issues seperti militer dan keamanan semata, melainkan juga mencakup kepentingan ekonomi dan prestise negara. Dalam pratiknya, terdapat relasi dominasi yang terjalin antara kepentingan nasional dan sisi kemanusiaan negara yang altruistik. Sebagaimana pepatah ada udang di balik batu, negara selalu memiliki motif tersembunyi di balik tindakan kemanusiaan yang dilakukannya. Kepentingan nasional dapat dilihat sebagai baterai yang menggerakkan negara untuk berpartisipasi dalam aksi kemanusiaan. Dengan adanya daya penggerak tersebut, negara akan berkontribusi lebih aktif dalam agenda kemanusiaan. Sehingga apa yang disebut sebagai tindakan kemanusiaan altruistik – mengulurkan bantuan tanpa mengindahkan kepentingan nasional dan tanpa mengharap timbal balik – bagi negara merupakan suatu hal yang terlalu idealis karena kepentingan negara merupakan suatu prioritas.
Sejak keikutsertaannya dalam operasi ini, Indonesia telah menoreh sederet pujian atas profesionalitas dan kontribusinya selama mengemban misi pasukan perdamaian. Pada tahun 1957, Indonesia mengirimkan kontingen pertamanya pada misi perdamaian di Terusan Suez, Timur Tengah. Setelahnya, Indonesia banyak mengerahkan personelnya yang tergabung dalam Kontingen Garuda. Partisipasi Indonesia dalam UNPKO memang dipandang sebagai refleksi dari pengamalan tujuan nasional dan diteguhkan dalam beberapa dokumen hukum mengenai penyebaran pasukan penjaga perdamaian dari Indonesia (Hutabarat, 2018).
Meskipun fondasi utama bagi partisipasi Indonesia telah ditetapkan sejak 1945, namun dapat dikatakan bahwa signifikasi peran aktif Indonesia dimulai pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal ini disebabkan oleh latar belakang militer yang dimilikinya dan orientasi kebijakan luar negerinya yang merujuk pada citra positif “Million Friends, Zero Enemy”. Nilai-nilai yang dianut Presiden SBY ini memengaruhi proses pengambilan keputusan dalam kebijakan luar negeri Indonesia pada era tersebut. Sederet prestasi telah diraih Presiden SBY dalam sepuluh tahun masa kepemimpinannya, seperti Roadmap Vision 4.000 Peacekeepers 2015-2019 hingga pembentukan Tim Koordinasi Misi Pemeliharaan Perdamaian (TKMPP). Meski membawa nilai-nilai yang berbeda, namun visi 4.000 Penjaga Perdamaian tersebut tetap diemban hingga era pemerintahan Presiden Jokowi. Lalu apakah keterlibatan Indonesia dalam UNPKO sepenuhnya terbebas dari penyelundupan kepentingan nasional?
Foto: Nadhifa Aliya Amani
Menggunakan kacamata kritis, partisipasi aktif dalam setiap operasi yang dijalankan oleh UNPKO dapat dipandang sebagai ajang pembuktian citra baik negara di kancah internasional. Pengiriman personel dan pembiayaan finansial dewasa ini telah dikonstruksi sebagai bentuk cinta suatu negara terhadap perdamaian. Citra baik ini kemudian digunakan bak pengeras suara agar aspirasi dan suara negara dapat didengar dalam forum internasional. Partisipasi aktif Indonesia di UNPKO memiliki implikasi pada sifat kooperatif dalam upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia dimana hal ini merupakan karakteristik penting yang dibutuhkan oleh anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB.
Bukan suatu kebetulan bahwa partisipasi Indonesia dalam UNPKO mengalami peningkatan pada awal pemerintahan Presiden SBY tahun 2004. Untuk status keanggotaan periode 2007-2008, pemilihan anggota tidak tetap DK PBB dilaksanakan pada tahun 2006 dan dua tahun merupakan jangka waktu produktif bagi Pemerintah Indonesia untuk menggencarkan kampanye. Dengan menjual citra baik tersebut, Indonesia berhasil menduduki kursi anggota tidak tetap DK PBB periode 2007-2008. Pola serupa dapat dilihat di masa kepemimpinan Presiden Jokowi. Menggunakan Roadmap Vision 4.000 Peacekeepers 2015-2019, Indonesia kembali menyandang gelar tersebut untuk periode 2019-2020, setelah memenangkan pemilihan yang dilaksanakan pada Juni 2018 silam. Disamping itu, langkah ini juga membawa arus positif dari dalam negeri. Isu kemanusiaan dan partisipasi dalam operasi perdamaian dianggap trendi dan menarik oleh masyarakat secara umum. Partisipasi ini berhasil merangkul Warga Negara Indonesia dan tentara Indonesia dalam satu tajuk kebanggaan nasional.
Dilihat dari segi ekonomi, partisipasi UNPKO menjadi menguntungkan karena mengakomodasi promosi peralatan militer buatan Indonesia. Hal ini menyediakan ruang bagi industri strategis Indonesia untuk melakukan manuver dalam komersialisasi persenjataan. Sejauh ini, taktik ini telah ditempuh untuk memperkenalkan senjata dan kendaraan militer buatan Indonesia yang memenuhi standar internasional. Namun sejauh ini, strategi tersebut dinilai belum mendatangkan profit yang berarti. Dalam konotasi yang lebih positif, partisipasi UNPKO merupakan suatu sarana efektif untuk memperoleh pengalaman internasional. Hal ini berguna sebagai cara strategis untuk mengevaluasi kinerja dan meningkatkan kualitas pasukan keamanan Indonesia dengan melakukan studi banding secara langsung dengan negara lain di lapangan.
Keterlibatan dalam operasi Pasukan Penjaga Perdamaian PBB merupakan tanggung jawab bersama guna mewujudkan perdamaian dunia. Kendati demikian, beberapa negara memilih mangkir dalam pelaksanaan misi tersebut. Fenomena ini kemudian menimbulkan tanda tanya besar terkait motif terselubung dalam keterlibatan aktif negara pada misi sukarela ini. Masyarakat internasional mulai menyangsikan iktikad baik negara yang bertindak atas nama solidaritas kemanusiaan. Karena pada hakikatnya, negara akan mendahulukan kepentingan nasional sebagai prioritas utamanya.
Referensi:
Hatta, Mohammad. “Mendayung di Antara Dua Karang” (1976). Bulan Bintang, Jakarta
https://peacekeeping.un.org/sites/default/files/dpko-brochure-2018v17.pdf
Hutabarat, Leonard F. “Indonesian Participation in the UN Peacekeeping as an Instrument of Foreign Policy: Challenges and Opportunities” (2018). Global & Strategies
Neack, Laura. "UN Peace-Keeping: In the Interest of Community or Self" (1995). Sage Publications