Gastrodiplomacy dalam Pemerintahan Jokowi
- Sep 29, 2019
- /
- Opini
- /
- Admin
- 6843
Penulis: Nindy Silvia Anggraini (Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Sebelas Maret)
Editor: Virtuous Setyaka
Berbicara mengenai Hubungan Internasional, pasti tidak akan jauh-jauh dari yang namanya Diplomasi. Tentang bagaimana hubungan suatu negara dengan negara lain, peran diplomasi menjadi hal paling penting. Seiring berkembangnya zaman, makin banyak hal yang dapat dikaji untuk mengembangkan jenis-jenis dilomasi itu sendiri. Kini, makanan pun bisa menjadi alat diplomasi yang penting bagi hubungan antar negara. Makanan khas suatu negara dilirik sebagai sebuah potensi yang menggiurkan untuk memperhalus hubungan antar negara.
Berangkat dari nilai-nilai tradisional masing-masing negara, yang menjadikan hal tersebut sebagai ciri khas, makanan juga memiliki arti tersendiri bagi sekelompok masyarakat yang didalamnya memuat nilai tradisional, tradisi, bahkan letak geografis. Makanan kini digunakan sebagai sarana untuk mempengaruhi, menyalurkan budaya, serta identitas dari sebuah negara. Makanan menjadi sarana komunikasi nonverbal yang sangat kuat untuk mengubah persepsi publik internasional dan mempromosikan negara di panggung global (Pujayanti, 2017). Diplomasi cara ini, lebih dikenal dengan istilah Gastrodiplomacy, yang dianggap dapat menjadi sarana dan alat dalam meningkatkan Branding Nation suatu negara (Baskoro, 2017). Gastrodiplomacy sendiri dipopulerkan oleh Paul Rockower yang mengatakan bahwa adanya komunikasi nonverbal yang datang dari Gastrodiplomacy ini sendiri merupakan cara yang efektif dalam penyatuan semua kalangan (Rockower, 2014). Dalam penjelasan Rockower dikatakan “Gastrodiplomacy seeks to enhance the edible nation brand through cultural diplomacy that highlights and promotes awareness and understanding of national culinary culture with wide swathes of foreign publics.” (Rockower, 2014).
Thailand dalam hal ini dapat diambil sebagai contoh praktik Gastrodiplomasi yang berhasil di kawasan Asia Tenggara sejauh ini. Thailand memanfaatkan makanan khasnya sebagai strategi soft power diplomacy mereka untuk merubah image negara wisata seks menjadi negara dengan kuliner yang kaya dan lezat. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya restoran Thailand yang tersebar di berbagai negara, dan yang menjadi hal penting disini, pembangunan restoran Thailand di berbagai negara ini dilakukan langsung oleh pemerintah Thailand untuk mempromosikan kuliner juga kebudayaan Thailand sendiri. (Pujayanti, 2017) Keberhasilan Gastrodiplomacy Thailand juga terbukti dengan banyaknya produk kuliner Thailand yang kini merambah ke segala lapisan masyarakat, apalagi di Indonesia,seperti thai tea kemudian tom yum, dan juga padthai yang memang sudah sejak lama menjadi makanan populer di banyak negara.
Indonesia, seperti yang kita ketahui, sangat kaya dengan budaya, bahasa, dan tentu saja kuliner, seharusnya dapat menjadikan Gastrodiplomacy sebagai peluang untuk memperluas persebaran budayanya ke kancah global. Namun, sungguh sangat disayangkan, Indonesia belum mampu menjadikan Gastrodiplomacy sebagai sarana memperluas dan menyalurkan budaya-budaya di Indonesia. Dalam satu kawasan seperti Jawa Tengah saja makanan khas daerahnya sudah beragam dengan pengaruh tradisi, budaya serta lokasi geografis. Masih menjadi pertanyaan tentang mengapa Indonesia belum bisa mencapai tujuan Nation Branding yang berusaha dibentuk melalui jalur kuliner. Belum seperti Thailand yang dikenal dengan tom yum nya, Indonesia belum memilki satu kuliner khas yang dapat di-branding sebagai “makanan khas Indonesia”. Bagaimana dengan rendang? Hal ini memang seringkali menjadi perdebatan. Rendang belum dapat dikategorikan sebagai makanan pengikat yang di branding dengan makanan khas Indonesia, karena proses pembuatan Rendang di satu daerah belum tentu sama dengan yang ada di daerah asalnya, yakni tanah Minang. Ditambah dengan adanya faktor historis seperti persebaran suku bangsa ke wilayah Malaysia membuat klaim rendang sebagai makanan asli Indonesia di mata dunia internasional kurang kuat.
Ada beberapa alasan mengapa Indonesia belum dapat menggunakan Gastrodiplomasi. Yang pertama belum adanya ikon kuliner yang cocok untuk dibawa ke internasional dan diperkenalkan sebagai makanan Indonesia, karena banyaknya kuliner dari berbagi daerah di Indonesia dan masing-masing dari mereka blm dapat mewakili kekhasan Indonesia secara general. Kemudian selain itu para pelaku usaha makanan kemasan Indonesia terhambat oleh adanya regulasi safety food di tingkat Internasional. Makanan kemasan untuk ekspor harus memenuhi syarat keamanan pangan internasional dengan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) (Pujayanti, 2017, hal. 50). Adanya sistem ini bertujuan untuk mengadakan pengawasan mutu dan keamanan makanan. Dengan adanya standart ini, sulit bagi usaha makanan UMKM Indonesia yang ingin menembus pasar internasional. Dan diluar kedua hal itu, memang pemerintah Indonesia masih belum memfokuskan diri pada sektor Gastrodiplomacy ini.
Foto: Nindy Silvia Anggraini
Namun, seolah mampu membaca potensi dan tidak mau menyianyiakan kesempatan yang ada, Presiden RI Joko Widodo berusaha melancarkan upaya Gastrodiplomacy dengan cara yang begitu halus. Presiden yang kerap di sapa Jokowi ini melancarkan upaya Gastrodiplomacynya dengan cara menyajikan makanan dan kopi tradisional kami setiap kali ia menerima Kepala Negara / Kepala Pemerintahan (Office of Assistant to Deputy Cabinet Secretary for State, 2018). Upaya sepeti ini dianggap cukup efektif untuk langkah awal Gastrodiplomacy yakni pengenalan. Kemudian dalam pemerintahan Jokowi, Gastrodiplomacy digadang-gadang sebagai salah satu fokus diplomasi Indonesia kedepannya. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Seminar Nasional Gastronomi dengan tema “Peran Gastronomi Indonesia dalam Meningkatkan Gastro-preneurship dan Memperkuat Diplomasi Indonesia” sebagai salah satu upaya memperkenalkan kuliner Indonesia lewat industri pariwisata yang ada (Office of Assistant to Deputy Cabinet Secretary for State, 2018). Seminar yang diadakan bekerja sama antara Sekretariat Kabinet dan Asosiasi Gastronomi Indonesia (IGA) ini diikuti oleh delegasi dari 34 pemerintah provinsi dan 8 perwakilan kabupaten / kota, kementerian / lembaga terkait, asosiasi, serta akademisi dan praktisi gastronomi sebagai anggota IGA (Office of Assistant to Deputy Cabinet Secretary for State, 2018).
Dapat dilihat disini bahwa meskipun Gastrodiplomasi di Indonesia menemukan banyak tantangan, namun dalam pemerintahan Jokowi, praktiknya mulai dikembangkan perlahan. Melalui hal sederhana seperti menjamu tamu, diharapkan kedepannya kuliner Indonesia dapat dijadikan alat perantara hubungan yang akan terjalin baik diantara Indonesia dengan negara-negara lain diluar sana. Dengan begitu pula, kebudayaan Indonesia nantinya dapat dikenal dan diakui kekayaannya oleh dunia Internasional.
Bibliography
Baskoro, R. M. (2017). Konseptualisasi Dalam Gastrodiplomasi dalam Hubungan Internasional. Insignia Journal
Pujayanti, A. (2017). Gastro Diplomasi : Upaya Memperkuat Diplomasi Indonesia. Jurnal DPR
Rockower, P. (2014). "The State of Gastrodiplomacy”. Public Diplomacy Magazine