Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB: Antara Prestis Internasional dan Struggle for Recognition

  • Aug 27, 2019
  • /
  • Opini
  • /
  • Admin
  • 2297

Penulis: Sasha Aryaldina (Mahasiswa Hubungan Intermasional Universitas Sebelas Maret)

Editor: Virtuous Setyaka

Pada pertengahan tahun 2018 masyarakat Indonesia dibuat bangga dengan adanya pemberitaan terpilihnya kembali Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019-2020. Ini merupakan ke-empat kalinya Indonesia berkesempatan memegang posisi ini, sebelumnya pada tahun 1974-1975, 1995-1996, dan 2007-2008 Indonesia juga sempat menjabat sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB. Antusiasme masyarakat untuk prestasi Indonesia yang telah diperjuangkan sejak jauh jauh hari ditunjukan lewat ucapan apresiasi dan dukungan di berbagai media sosial. Ada rasa bangga yang dirasakan masyarakat saat melihat nama Indonesia kembali didengar di dunia internasional yang secara langsung akan menaikkan prestis Indonesia di mata dunia. Bekerja bersama Jerman, Afrika Selatan, Belgia dan Republik Dominika, Indonesia mulai menjalani masa tugasnya pada tanggal 1 Januari 2019- 31 Desember 2020 (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2019).


Segera setelah Indonesia secara resmi menjadi bagian dari kelompok ekslusif yang menjadi pembuat kebijakan dalam level internasional tersebut, tim dari Kementerian Luar Negeri Indonesia segera mengadakan seminar di berbagai universitas dan instansi untuk mempromosikan dan memberikan pengertian kepada masyrakat mengenai apa saja yang menjadi fokus pekerjaan serta strategi Indonesia di DK PBB, salah satu universitas yang dipilih untuk dikunjungi adalah UGM. Dengan slogannya, A True Partner for World Peace yang menjadi andalan Indonesia selama masa kampanye, Indonesia memberikan fokus perhatian pada isu-isu perdamaian dan stabilitas global serta partnership, dengan memberikan atensi khusus pada isu Palestina (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2019). Melihat posisi penting yang selalu menjadi incaran negara-negara anggota PBB yang saat ini diampu oleh Indonesia, tentu sudah seharusnya Indonesia memanfaatkannya waktu dua tahun ini dengan baik.

Image: https://kemlu.go.id/portal/id/page/42/keanggotaan-indonesia-pada-dk-pbb


Bagaimana posisi sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB menjadi suatu posisi yang banyak diincar negara-negara, baik negara maju maupun negara berkembang? Dengan kuasa yang datang seiringan dengan jabatan bonafid ini tentu tidak heran bahwa setiap negara selalu berupaya mendapatkannya melalui berbagai strategi. Lalu apa dengan terpilihnya Indonesia akan membawa dampak yang baik bagi Indonesia? Sebagai bagian dari level tertinggi PBB, Indonesia akan dilibatkan dengan berbagai perumusan kebijakan yang gagal diselesaikan di bagian tubuh PBB yang lain seperti sanksi ekonomi, dan aksi militer kolektif. Ada tiga poin yang membuat negara berlomba-lomba mendapatkan posisi tersebut menurut David Malone (Malone, 2000).

Pertama, menjadi anggota tidak tetap UNSC (United Nations Security Councils) akan mendapatkan prestis internasional, melihat UNSC sebagai bagian terpenting PBB, negara-negara tentu ingin mengambil bagian di dalamnya demi interest mereka masing masing. Kedua, Malone menekankan pada states’ positioning dalam konflik di depan Council, negara yang menjadi bagian dari konflik akan kehilangan haknya dalam pemilihan suara (United Nations, n.d.) yang kemudian memunculkan perdebatan mengenai definisi “konflik”, akhirnya anggota Council akan memiliki upper hand dalam perdebatan ini. Ketiga, negara dapat secara efektif mengejar interest mereka secara lebih efisien, dengan membawa topik tertentu pada area bahasan dan diskusi dewan dipercaya akan mempengaruhi hasil yang positif. Oleh sebab itu, power sebenarnya bukan sesuatu yang paling diincar saat sebuah negara berusaha menempati posisi dalam UNSC, hal utamanya adalah prestis dan informasi yang didapat dengan menjadi bagian dari pembuat kebijakan di level tertinggi. Akan ada rasa bangga dan naiknya nama sebuah negara saat berhasil tergabung dalam kelompok kecil ini.


Latar belakang Indonesia untuk ikut tergabung dalam non-permanent member dari UNSC dapat pula dipengaruhi upaya Indonesia untuk mempertahankan dignity di dunia internasional. Menurut Francis Fukuyama, ada tiga fenomena yang digabungkan oleh konsep modern dari identitas (Fukuyama, 2018). Pertama, aspek universal dari kepribadian manusia yang menginginkan pengakuan. Kedua, perbedaan antara batin dan luar diri dan peningkatan penilaian moral batin atas masyarakat luar, yang terjadi hanya pada awal masa modern Eropa. Ketiga, konsep dignity yang berkembang dimana pengakuan bukan hanya karena kelompok orang yang kecil tapi juga bagi semua orang. Ada keinginan untuk mendapatkan pengakuan dignity yang setara. Bisa jadi ini adalah salah satu alasan Indonesia bergabung dalam UNSC, ada dorongan untuk menuntut recognition dan dignity dengan cara masuk dalam level tertinggi pembuat kebijakan internasional.

Foto: Sasha Aryaldina

Posisi sekaliber anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB memang posisi yang patut diperjuangkan, dengan sederet keuntungan yang didapat Indonesia tentu bukan hal yang salah apabila Indonesia dengan semangat dan ambisi tinggi berusaha mendapatkannya. Ditambah dengan dua analisa yang diperkuat dengan pendapat dua tokoh diatas menjelaskan mengapa Indonesia sangat antusias mengejar posisi ini. Lewat pendapat David Malone yang menjelaskan keuntungan-keuntungan yang didapat Indonesia jika memperoleh posisi ini, seperti prestis internasional dan informasi serta kewenangan yang lebih dari negara-negara lain. Lalu pendapat Francis Fukuyama yang membicarakan mengenai dignity dan struggle for recognition, bagaimana suatu negara akan melakukan hal-hal demi pengakuan atas harga diri negara tersebut. Seperti berupaya terlibat langsung dalam aksi-aksi internasional yang membuat negaranya diakui dalam kacah internasional. Hal ini menjadi faktor mengapa Indonesia terdorong untuk ambil bagian dalam tingkat tertinggi sistem perpolitikan internasional ini, ada keinginan dari Indonesia untuk mendapatkan prestis dan upaya mendapatkan pengakuan dari publik internasional.

Referensi:

Buku:
Fukuyama, Francis. “Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment” (2018). Farrar, Straus and Giroux, New York.

Artikel Jourrnal:
Malone, David M. “Eyes on the Prize: The Quest for Nonpermanent Seats on the UN Security Council” (2000). Lynne Rienner Publishers.

Internet:

Draft Kerjasama Multilateral. Tentang Indonesia pada DK PBB. https://kemlu.go.id/portal/id/read/148/view/tentang-indonesia-pada-dk-pbb. Diakses, 27 Agustus 2019

Keanggotaan Indonesia pada DK PBB. https://kemlu.go.id/portal/id/page/42/keanggotaan-indonesia-pada-dk-pbb. Diakses, 27 Agustus 2019

UN Charter. https://www.un.org/en/sections/un-charter/un-charter-full-text/. Diakses, 27 Agustus 2019


About The Author

Comments