Transnasionalisme - Peran Aktor Non-Negara Dalam Hubungan Internasional

  • Jun 14, 2019
  • /
  • Buku
  • /
  • Admin
  • 34102

Profil Buku

Judul Buku: Transnasionalisme – Peran Aktor Non-Negara Dalam Hubungan Internasional
Penulis: Ani Soetjipto
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun: 2018
Link Pemesanan: (klik di sini)

Image: http://obor.or.id/index.php?route=product/product&product_id=850&search=transnasionalisme

HubunganInternasional.id (HI.id): Apa yang melatarbelakangi penulisan buku ini?

Ani Soecipto (A.S): Ada tiga hal yang melatarbelakangi penulisan buku ini. Pertama adalah passion saya, dalam aktivitas advokasi dalam waktu panjang untuk beragam isu seperti isu HAM, Gender, anti korupsi maupun pemilu.

Kedua, masih terbatasnya buku buku bacaan HI untuk mahasiswa yang berbahasa Indonesia yang membahas non state actor dalam HI, isu advokasi transnasional maupun peran penting yang dimainkan aktor non negara dalam politik internasional.

Alasan ketiga, adalah sebagai bagian bimbingan kepada mahasiswa S2 dan S1 HI UI untuk melatih mereka menulis dalam buku bacaan yang dipublikasikan secara luas dan dibaca oleh beragam kalangan tidak saja mahasiswa, tapi juga aktivis gerakan sosial, peneliti maupun pembaca umum yang berminat pada isu dan kajian hubungan internasional


(HI.id): Tolong anda jelaskan kepada pembaca, apa itu transnasionalisme dalam Studi Hubungan Internasional?

(A.S): Transnasionalisme definisi sederhananya adalah aktivitas yang dilakukan lintas batas negara dimana salah satu aktornya bukan terdiri dari aktor negara. Definisi ini sangat longgar dan bisa dimaknai secara luas dalam HI.

Sebagai kajian akademik konsep transnasionalisme dalam HI bisa dimaknai beragam. Dalam definisi yang sangat luas transnasionalisme sering dimaknasi sebagai cosmopolitanisme dalam konteks globalisasi sehingga beragam isu transnasional seperti migrasi, refugee, diaspora, misalnya dikaitkan dengan kajian transnasionalisme.

Dalam buku ini saya memaknai transnasionalisme dalam HI melalui jejak teori HI yang akarnya adalah konsep tentang International Society dari Hugo Grotius dalam bukunya The Anarchical Society: A Study of world order in world politics (1953).

Image: Ani Soetjipto

International society sebagai struktur politik internasional; “kumpulan negara yang bekerja sama dalam institusi internasional dan diatur oleh hukum internasional, perangkat diplomasi dan kebiasaan yang berjalan dalam relasi antar mereka (hal 26)”. Kerja sama internasional antar negara yan diikat oleh serangkaian aturan dan insitusi yang mereka bentuk atas dasar kesepakatan diantara mereka. Rules and morality adalah faktor yang pedoman mereka berperilaku.

Tonggak kedua: Linklater (1997) dalam bukunya Transformation of Political Community merevisi konsep awal tentang International society. Globalisasi menjadikan masyarakat bergerak melintasi batas negara dan merubah komunitas politik internasional sehingga diperlukan upaya memperluas batas dimana warga negara bisa bersatu secara politis dengan orang asing di luar negara mereka untuk memperjuangkan hak kewargaan global yang bebas dari penindasan / pengucilan. Konsep global citizenship- kewarganegaraan global adalah sumbangan Andrew Linklater dalam buku Transformation of Political Community ini. Struktur politik internasional yang disebutnya sebagai political community dicirikan dengan peran serta citizen (warga) yang berinteraksi secara global dengan state, market, institusi internasional maupun international norms.

Tonggak ketiga: Barry Buzan merevisi gagasan international society Bull dengan istilah cosmopolitanism (1999). Cosmopolitanism adalah pintu masuk dari penjelasan struktur internasional dimana TAN dan TNActivities dan transnational coalition yang dimotori oleh aktor non negara bisa ikut mewarnai dan menjadi subjek penting dalam politik international.

(HI.id): Bagaimana contoh keberhasilan aktor non-negara dalam mempengaruhi keputusan-keputusan penting yang diambil dalam interaksi Hubungan Internasional?

(A.S): Contohnya banyak. Bisa bentuknya norms entrepreur (memperkenalkan norma baru) mensosialisasikan norma tersebut dan menjadikannya norma global (misalnya norma tentang anti diskriminasi rasial, norma kesetaraan keadilan gender, norma anti-apartheid dst)

Sumbangan yang lain gerakan gerakan advokasi transnasional bisa juga berhasil menghukum negara yang melanggar HAM misalnya kasus East Timor Action Network (ETAN) yang bisa mempressure Indonesia untuk menyetujui gagasan referendum untuk Timor Timur yang kemudian berujung pada kemerdekaan Timor leste.

(HI.id): Menurut pendapat anda, apa hal yang mempengaruhi keberhasilan tersebut?

(A.S): Keberhasilan atau kegagalan suatu advokasi internasional ditentukan banyak faktor seperti framing issues, kekuatan jejaring (daya tahan – endurance, kekuatan mobilisasi, kekuatan finansial) serta ada atau tidaknya momentum politik untuk mendesakkan perubahan tersebut.

(HI.id): Bagaimana contoh kegagalan aktor non-negara dalam mempengaruhi keputusan-keputusan penting yang diambil dalam interaksi Hubungan Internasional?



(A.S): Kegagalan dari advokasi Internasional kita bisa mencatat misalnya kegagalan advokasi untuk Free Tibet Independence dalam menekan Tiongkok, Kegagalan (belum berhasilnya) gerakan advokasi untuk LGBT untuk hak kaum LGBT dst.

(HI.id): Menurut pendapat anda, apa hal yang mempengaruhi kegagalan tersebut?

(A.S): Kegagalan Free Tibet Independence adalah salah satunya karena karakter Tiongkok sebagai negara yang dianggap tidak demokratik. Semakin demokratik suatu negara peluang untuk melakukan perubahan dan tekanan lebih besar (menurut teori, tapi juga tergantung konteks politik.

Kegagalan kampanye LGBT lebih banyak disebabkan karena momentum politik tidak mendukung bagi gerakan gerakan ini sampai saat ini

(HI.id): Apakah anda berkenan apabila dihubungi oleh pembaca untuk membahas lebih lanjut perihal buku ini?

(A.S): Bisa, alamat email: ani_soetjipto@yahoo.com

(HI.id): Terima kasih atas kebersediaannya menjawab pertanyaan dari kami. Semoga karya anda bermanfaat bagi penstudi Hubungan Internasional lainnya maupun masyarakat umum.

MENEMPATKAN AKTOR NON-NEGARA DALAM SPEKTRUM EPISTEMIK HUBUNGAN INTERNASIONAL1

Ade M Wirasenjaya
Staf Pengajar dan Editor Jurnal HI UMY

Buku “Transnasionalisme: Peran Aktor Non-Negara dalam Hubungan Internasional” yang diedit Ani Soetjipto (Yayasan Obor Indonesia, 2018) setidaknya memiliki empat sumbangan penting. Pertama, buku ini memberi perspektif yang sangat menarik dari sisi akademik, terutama bagian pengantar yang menyajikan peta gagasan dan signifikansi aktor non-negara (baca: NGO) dalam hubungan internasional kontemporer, khususnya pada bidang kajian transnasionalisme. Kedua, buku ini mendemontrasikan bagaimana pandangan pasca-realis dan perspektif transnasionalisme melalui narasi gerakan sosial pada level yang beragam. Ketiga, buku ini memperlihatkan bahwa posisi aktor non-negara, khususnya dalam peran-peran advokatif, mampu mengajukan tawaran alternatif – atau sekurang-kurangnya kekuatan kritis – atas fenomena hubungan internasional kontemporer. Keempat, buku ini mengajak kita untuk memikirkan kembali (re-thinking) tentang apa itu “internasional relations”. Melalui narasi kasus sosial yang berlangsung di Indonesia dan beberapa negara, buku ini seperti ingin mengajak kita bahwa “hubungan internasional” tidak lagi soal relasi-relasi formalistik, konsensus-konsensus melalui serangkaian pertemuan rutin, aksi-reaksi suatu negara dalam merespon tindakan negara lainnya. Hubungan internasional adalah tentang reklamasi Bali demi melayani turisme (hal.77), tentang polusi air (hal.165), tentang proteksi hewan (hal.139), tentang resistensi petani (hal 195) juga tentang kapasitas teknologi dalam proses revolusi di Mesir (hal 215). Lewat kasus-kasus yang diangkatnya, buku ini seperti ingin menegaskan bahwa hirarkhi antara “problem nasional” dan “problem internasional” sudah mengalami kekaburan (blured) sehingga membutuhkan cara pandang baru yang keluar dari cara pandang lama dalam menganalisis fenomena hubungan internasional yang semakin kompleks. Dengan cara itu, buku ini mencoba “membawa isu domestik ke dalam isu global” dan sebaliknya.

Kehadiran buku ini menegaskan munculnya upaya sejumlah ilmuwan hubungan internasional yang mencoba menawarkan pandangan-pandangan alternatif. Disamping karena tatanan dunia sudah mengalami perubahan radikal, munculnya aktor-aktor baru di luar negara, semakin memberi pengaruh luar biasa dalam konstruksi tananan global kontemporer. Bagi Mark J Lacy (2014), pandangan kaum realis tentang isu-isu non-tradisional seperti bencana, lingkungan, perubahan iklim, hampir mendekati titik tragis.2 Bahkan bagi para pemikir di jalur Teori Kritis Coxian, istilah “world order” lebih relevan digunakan ketimbang istilah “international relations” (Cox, 1987).

Kehadiran NGO lingkungan transnasional seperti Greenpeace dan WWF dianggap James Paul memberi contoh kuatnya legitimasi kalangan ini dalam menangani suatu isu. Dalam sebuah poling di Jerman, publik lebih mempercayai suara NGO ini dibanding suara pemerintah Federal.3 Davies (2013) bahkan menyebut NGO sebagai suporpower baru dalam politik internasional mengingat jumlah dan kapasitas yang mereka miliki. Tak kurang dari 20.000 NGO beroperasi di seluruh dunia. Beberapa NGO internasional seperti World Vision bahkan memberikan bantuan yang melebihi jumlah bantuan luar negeri yang diberikan negara-negara besar seperti Italia dan Australia4 NGO lingkungan internaional memiliki power yang cukup kuat dalam mendesain isu-isu lingkungan global terutama setelah Konferensi Bumi di Rio de Janiero (1992) dimana lebih dari 8000 NGO hadir dan 1400 NGO menjadi observer. Meskipun tidak mendeklarasi memiliki kekuatan politik, tetapi bagi Doyle dan McEahern, NGO (lingkungan) adalah organisasi politik.5 Dengan kapasitas dan jangkauan jaringan yang mereka miliki, NGO lingkungan internasional seperti WWF, Conservation International dan The Nature Conservancy dikelompokkan oleh Doyle dan McEarhern sebagai global green governance NGOs.6

Dalam arus transnasionalisme, kehadiran global NGO melengkapi dua generasi transnasionalisme sebelumnya: transnasionalisme negara (state transnasionalism) dan transnasionalisme pasar (market transnasionalism). Kedua bentuk transnasionalisme tersebut telah memicu dunia pada tatanan global baru, sekaligus juga sebuah tragedi baru. State transnasionalism melahirkan kolonialisme bangsa yang kuat atas bangsa yang lemah, market transnasionalism melahirkan eksploitasi oleh pelaku-pelaku ekonomi raksasa dunia. State transnasionalism menempatkan globalisasi sebagai ajang akumulasi kekuasaan (power accumulation), sedang market transnasionalism menjadikan globalisasi sebagai panggung akumulasi keuntungan (profit accumulation).


Dalam dua lanskap transnasionalisme ini, kehadiran aktor NGO diasumsikan akan mengajukan semacam interupsi untuk memberi aspek value. Bagi kalangan realis, aspek value mungkin dianggap terlalu “suci”, kurang jelas dan abstrak dalam menganalisis fenomena globalisasi yang didominasi aspek power dan profit. Tetapi bagi kalangan pasca-realis, signifikansi aktor-aktor non negara seperti NGO dalam peta hubungan internasional kontemporer tidaklah bisa diabaikan. Dalam pengantar buku ini, secara gamblang dipetakan posisi aktor non-negara dalam perdebatan dan kajian hubungan internasional kontemporer (lihat hal. 21-30). Bagi pengkaji transnasionalisme gelombang ketiga, hubungan internasional terlalu kompleks untuk hanya dilihat dari kacamata kaum realis yang hanya mendasarkan diri pada aspek-aspek material. Hubungan internasional, adalah juga tentang kontestasi gagasan, pengarusutamaan (mainstreaming) norma serta tentang pentingnya kekuatan ide. Hubungan internasional tidak melulu hanya dideterminasi oleh peran serta negara dan kekuatan ekonomi raksasa, tetapi juga muncul dari kekuatan-kekuatan yang dulu dianggap entitas klendesten dalam hubungan internasional.

Bagaimana NGO sebaiknya ditempatkan? Sejak tahun 1980-an, kajian tentang NGO mulai menjadi kajian tak terpisakan dari kajian tentang civil society (Paul, 2000) karena pengaruhnya yang sangat kuat dalam berbagai isu-isu publik. Timothy Doyle dan Doug McEachem membuat empat kategori relasi negara dan NGO yakni dalam pandangan pluralis, korporatis, otoritarian dan post-modernis7 yang bisa digunakan untuk mempermudah pembacaan atas posisi NGO. Bagi kaum pluralis, NGO ditempatkan sebagai partner atau mitra pemerintah. Dalam logika kaum pluralis, posisi NGO dianggap merepresentasikan kelompok sosial yang memiliki hak untuk mengambil posisi politik seperti dalam rangka menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan. Dalam logika kalangan ini, NGO merupakan representasi dari munculnya kelompok sosial baru sebagai konsekuensi dari proses modernisasi politik dan ekonomi.

Image: Ade M Wirasenjaya

Sementara dalam pandangan kalangan korporatis, negara dan NGO hidup dalam arena yang sama. NGO merupakan proyeksi dari kekuasaan negara. Logika ini tak lepas dari gagasan korporatisme negara yang memandang kelompok-kelompok yang tumbuh di masyarakat harus ditertibkan dan disiplinkan sedemikian rupa. Pandangan ketiga, dari kalangan otoritarian, cenderung membangun eksklusi terhadap NGO. NGO dianggap sebagai arena yang terpisah dari negara. Sementara pandangan keempat datang dari pandangan kaum pluralis yang melihat NGO dan negara sebagai entitas yang saling mempengaruhi. Selain merepresentasikan masyarakat yang plural, kaum post-modernis melihat bahwa NGO memiliki kekuatan penting: dari sisi jaringan, kekuasaan dan juga pengetahuan. Pandangan ini juga melihat bahwa NGO mencerminkan masyarakat yang fleksibel: mereka bisa membangun networks ke luar, ke dalam bahkan bersama negara.8 Pandangan postmodernis berangkat dari tesis bahwa kekuasaan itu plural. Dengan cara pandang ini, kalangan postmodernis menempatkan NGO sebagai entitas yang juga memiliki power.

Dilihat dari kategorisasi tersebut, buku yang disunting Ani Soetjipto menawarkan cara pandang keempat ini. Pandangan post-modernis tentang NGO nampaknya lebih bisa digunakan untuk melihat munculnya pluralitas aktor seperti sekarang. Terlebih jika yang akan dilihat adalah jaringan NGO dan bukan kajian relasi NGO dan rejim di suatu negara. Transnasional NGO merupakan varian gerakan masyarakat sipil global (global civil society). Mary Khaldor, pemikir yang dianggap cukup penting dalam ide ini menyebut global civil society (GCS) sebagai versi postmodern dari gagasan new social movements yang pernah popular pada tahun 1970-an.9 Tumbuhnya GCS dipicu oleh munculnya isu-isu non-tradisional dalam hubungan internasional seperti perubahan iklim, AIDS, bencana, dan juga isu-isu sosial yang lahir karena ekspansi korporasi.10

SIGNIFIKANSI BUKU INI


Buku ini memberi gambaran tentang makin perlunya studi HI mengembangkan analisis multi-disiplin. Bagi ilmuwan HI di Indonesia, rasanya kajian-kajian tentang gerakan advokasi dalam konteks studi HI masih amat jarang. Fenomena gerakan sosial saat ini tidak mungkin terlepas dari fenomena hubungan internasional. Sekurang-kurangnya dari sisi dampak yang dihasilkannya, globalisasi dipastikan akan menyentuh kehidupan sosial di lapis bawah. Sementara itu, Indonesia merupakan negara yang sejak lama menjadi target perluasan pasar dan perluasan kekuasaan. Dalam konteks inilah buku 273 halaman ini menjadi menarik. Sayangnya, kasus-kasus dan analisis yang disajikan buku ini masih didominasi cara pandang advokatif yang hanya menempatkan NGO atau gerakan masyarakat sipil sebagai entitas baru yang memberi pengaruh pada elevasi kasus maupun isu dengan pola kerja voluntaristik. Apakah, misalnya, NGO juga memiliki potensi untuk menjadi blok sosial baru, yang memiliki power dan – mengutip Robert Cox -- kapabilitas material yang mereka gunakan untuk melanggengkan eksistensi dan kekuasaan? Juga, misalnya, kemungkinan bagi tiga gugus kekuatan trans-nasionalisme – negara, pasar dan civil society – untuk saling mengembangkan division of labor, berbagi arena dan juga berbagi border untuk menjalankan cara produksi baru? Barangkali ini penting untuk didiskusikan lebih lanjut.***

Catatan Kaki

1. Disampaikan pada Bedah Buku “Transnasionalisme: Peran aktor Non-Negara dalam Hubungan Internasional” (Ani Soetjipto, editor;Yayasan Obor Indonesia, 2018). Diselenggarakan oleh Prodi HI UMY dan Yayasan Obor Indonesia, 9 April 2019
2. Mark J Lacy, Security and Climate Change: International Relations and the Limits of Realism, Routledge, 2014
3. ibid
4. Thomas Davies, NGOs: A Long and Turbulent History, The Global Journal, Januari-Februari 2013 hal.35
5. Doyle dan McEachern, Environment and Politics, Routledge, 2008, hal.125
6. ibid
7. Timothy Doyle dan Doug McEachem, Environment and Politics, Routledge, London, 2008, hal. 134
8. ibid
9. Lihat Khaldor, The Idea of Global Civil Society, International Affairs, Vol. 79, No. 3, May, 2003, hal. 583-593
10. ibid


About The Author

Comments