KONFERENSI ASIA – AFRIKA 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme
- May 18, 2019
- /
- Buku
- /
- Admin
- 6774
Konfrensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 menjadi tonggak sejarah penting tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi negara-negara di dunia. KAA berhasil menunjukkan kepada dunia tentang semangat perjuangan anti imperialis yang selama ini dilakukan oleh negara-negara maju dari barat terhadap wilayah-wilayah di Asia maupun Afrika yang kala itu masih tertinggal.
Sebuah buku berjudul “KAA 1955 – Asal Usul Intelektual dan Warisannya Bagi Gerakan Global Antiimperialisme” mencoba mengangkat kembali romantisme tersebut kepada para pembaca. Buku ini juga mencoba menyajikan fakta sejarah tentang gagasan-gagasan intelektual yang ketika itu menginspirasi para pemikir bangsa. Buku ini ditulis oleh Wildan Sena Utama dan Tim HubunganIntenrasional.id tertarik untuk menelusuri lebih jauh tentang buku ini. Simak wawancara dan resensinya berikut ini!
HubunganInternasional.id (HI.id): Apa yang latar belakang anda menulis buku “KAA 1955 – Asal Usul Intelektual dan Warisannya Bagi Gerakan Global Antiimperialism?
Wildan Sena Utama (WSU): Asal usulnya ada dua alasan mengapa saya menulis buku ini. Pertama, ketertarikan saya pada studi sejarah transnasional aktivis antiimperial dan antikolonial Asia di masa abad ke-20 menemukan satu fenomena historis yang menarik bahwa jaringan yang ditempa oleh aktivis antiimperial/antikolonial Asia dan Afrika berujung pada satu momen poskolonial penting di pertengahan abad ke-20, yaitu Konferensi Asia-Afrika. Sukarno, Ali Sastroamidjojo, Roeslan Abdulgani, Moh. Hatta menyinggung mengenai pembangunan jaringan transnasional tersebut yang telah berakar sejak masa interwar dalam pidato dan tulisan-tulisannya.
Sebagai seorang sejarawan yang menemukan genealogi semacam ini ditambah ketidaktahuan betapa peristiwa ini begitu kompleks terkait dengan asal-usul munculnya Dunia Ketiga maka hal ini semakin menantang saya untuk melakukan penelitian terhadap KAA. Narasi global dibalik KAA ini penting diketahui oleh publik agar peristiwa ini diingat sebagai perjuangan panjang aktivis dan intelektual Asia dan Afrika (termasuk Indonesia sebagai salah satu penggeraknya) dalam membebaskan Dunia Ketiga dari kolonialisme dan rasisme yang belum berakhir, membangun hubungan antar benua yang lebih intim, sekaligus menghadapi tantangan ke depan dalam bentuk imperialisme Perang Dingin.
Kedua, ketika saya mulai riset tahun 2015, tahun ini adalah momentum yang sangat tepat dan semakin mendorong saya untuk menyelesaikan riset ini. Tahun itu bertepatan dengan peringatan 60 tahun KAA. Hal yang menarik bagi saya adalah masih banyak sekali sejarawan, ilmuwan hubungan internasional, ilmuwan sosial, sampai aktivis yang mengganggap peristiwa itu masih memiliki relevansi sampai saat ini. Atas dasar itu masih banyak kajian yang berusaha melakukan reinterpretasi ulang dan kontekstualisasi gagasan KAA (antikolonialisme, antiimperialisme, kedaulatan, hak asasi, dan perdamaian dunia) dengan problem-problem dan situasi yang dihadapi oleh dunia hari ini. Meskipun, dunia hari ini berubah dan problem politik dunia semakin kompleks, tapi Spirit Bandung masih dianggap sebagai penggerak yang diperhitungkan bagi orang-orang yang memimpikan dunia yang lebih adil dan bebas dari penindasan dan ketakutan.
(HI.id): Menurut pendapat anda, apa yang menjadi alasan/kepentingan Indonesia mengadakan (KAA)?
(WSU): Hal ini berkaitan dengan konteks historis dan politis yang dialami dan diperjuangkan Indonesia – dan juga beberapa negara Asia lainnya – ketika itu. Menghadapi bahaya Perang Dingin yang mengancam kedaulatan nasional sekaligus kedaulatan regional di tahun 1950-an, Indonesia tidak bisa berdiam diri melihat itu karena ini bertentangan dengan prinsip politik bebas dan aktif yang mereka anut. Indonesia tergerak untuk membicarakan masalah Perang Dingin di Vietnam dan Asia dengan negara-negara Asia lainnya yang ketika itu sama-sama belum lama merdeka. Mereka ingin agar kedaulatan nasional mereka dihormati sekaligus ingin wilayah nasional, regional, maupun kontinental aman dari ancaman perang. Indonesia membaca situasi geopolitik waktu itu bahwa tantangan yang dihadapi bersama oleh Asia dan di masa depan adalah ancaman intervensi kekuatan besar Perang Dingin. Buktinya sudah jelas di Vietnam, Korea, dan Taiwan. Asia Tenggara begitu rentan posisinya dalam pertarungan dua kekuatan besar Perang Dingin. Hal ini begitu jelas dikatakan oleh Odd Arne Westad dalam The Global Cold War bahwa intervensi kekuatan adidaya paling panas terjadi di wilayah Dunia Ketiga – wilayah yang diabaikan dalam narasi historiografi Perang Dingin.
Di samping menghadapi permasalahan intervensi Perang Dingin, dalam imajinasi para pemimpin nasionalis Indonesia, bahaya kolonialisme itu belum berakhir. Di Afrika, perjuangan antikolonialisme sedang menggelora. Hal ini bisa dilihat dari dukungan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan negara-negara Afrika Utara. Masalah ini juga tercantum dalam komunike Konferensi Kolombo. Hal ini juga tidak dibiarkan oleh Indonesia dan merasa bahwa mereka memiliki tanggung jawab, karena secara historis mereka pernah berada dalam kolonialisme, untuk membicarakan masalah ini dengan negara-negara Asia dan Afrika.
Image:http://marjinkiri.com/product/konferensi-asia-afrika-1955-asal-usul-intelektual-dan-warisannya-bagi-gerakan-global-antiimperialisme/
Untuk membicarakan dua problem besar yang dihadapi dunia ketika itu, ancaman Perang Dingin dan kolonialisme, Indonesia merasa bahwa suara-suara Asia dan Afrika perlu dipertemukan. Alasannya jelas dua benua ini menghadapi tantangan politik yang sama dan digerakkan olehnya. Selain itu, secara historis mereka memiliki sejarah yang hampir identik: pernah merasakan kolonialisme dan berjuang untuk pembebasan nasional. Ali Sastroamidjojo kemudian mengusulkan kepada inisiator Konferensi Kolombo untuk mengadakan semacam Konferensi Perdana Menteri yang lebih luas dengan melibatkan negara-negara Afrika dengan keyakinan bahwa baik negara Asia dan Afrika memiliki kesamaan historis dan tantangan politis yang sama. Ditambah lagi, tokoh-tokoh internasionalis, seperti Ali Sastroamidjojo, Sukarno, dan Hatta, memiliki keyakinan bahwa upaya tersebut mungkin dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa pembangunan jaringan antiimperialisme Asia dan Afrika telah ditempa sejak awal abad ke-20. Mereka ingin mewujudkan cita-cita bersejarah itu: pertemuan negara-negara Asia dan Afrika yang kini merdeka dan hampir merdeka membicarakan problem-problem (dunia) yang mereka hadapi. Dahulu, mereka pernah bertemu di Eropa (Brussels, Berlin, London, dll) ketika kondisi mereka masih terjajah, sekarang mereka ingin membalikkan geopolitik sirkuit pertemuan itu di Dunia Ketiga (Bandung, Jakarta, New Delhi, Kairo, dll) sebab banyak negara Asia dan Afrika kini telah merdeka
(HI.id): Keberhasilan Indonesia mengadakan KAA dianggap sebagai salah satu puncak keberhasilan diplomasi Indonesia di level intenrasional. Hal yang serupa rasanya sulit kita temui di masa kini. Menurut pendapat anda, elemen apa yang “hilang” dalam diplomasi Indonesia masa kini?
(WSU): Mungkin beberapa hal di antaranya adalah kepekaan dan keberanian dalam merespons situasi ketidakdilan yang masih terjadi dalam politik internasional. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh perbedaan alam sosial-politik-kebudayaan yang membentuk diplomat Indonesia hari ini dan masa lalu. Bila dahulu kebanyakan diplomat kawakan kita merupakan aktivis dan intelektual penggerak antikolonialisme yang ditempa dalam politik pergerakan melawan Belanda.
Mereka tidak hanya aktif dalam berdiskusi, bertemu rakyat, berorganisasi, tapi memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni, dibuktikan dari kemampuan berbahasa dan menulis yang bagus. Mereka bukan hanya intelektual: bersekolah di sekolah elit terbaik Eropa dan berkuliah di universitas terbaik di Eropa dan Indonesia, tetapi mereka intelektual-organik yang memiliki kesadaran untuk turun dari singasana kelasnya untuk menyadarkan, mengorganisasi, dan menggerakkan masyarakat untuk bergerak melawan pemerintah kolonial.
Orang-orang ini, Moh. Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Ali Sastroamidjojo, Sukarno, Abu Hanifah, ketika Indonesia merdeka mengisi peran dalam kebijakan-kebijakan politik luar negeri Indonesia. Diplomat-diplomat kita di masa lalu memang tidak memiliki pengetahuan pedagogik ilmu hubungan internasional yang didapat dari bangku universitas, tapi pengetahuan itu didapatkan langsung atau otodidak dari pembacaan yang dalam atas politik internasional dan pengalaman panjang politik nasional dan internasional yang mereka alami.
(HI.id): KAA telah menjadi warisan bagi dunia. Menurut pendapat anda, bagaimana Indonesia seharusnya memanfaatkan fakta sejarah ini dalam kepentingan nasionalnya di masa kini?
(WSU): KAA seharusnya menjadi refleksi sesungguhnya Indonesia dibangun dan memperjuangkan cita-cita keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, dan perdamaian dunia. Kepentingan nasional kita terus berubah seiring berjalannya waktu, tetapi nilai-nilai yang ditetapkan dan dicita-citakan dalam politik bebas dan aktif dan KAA – yang kurang lebih merupakan saripati dari raison d’etre Indonesia – saya pikir masih relevan dan kontekstual.
(HI.id): Apa saran yang ingin anda sampaikan kepada para pembaca khususnya terkait KAA?
(WSU): Meskipun KAA merupakan peristiwa penting dalam dunia pascakolonial, namun masih banyak dimensi dari KAA yang belum banyak dianalisis. Beberapa topik yang menarik di antaranya: bagaimana hubungan antara sejarah pemikiran mengenai Afro-Asianisme muncul dalam pikiran para tokoh-tokoh antikolonial/antiimperial Indonesia dengan asal-usul kemunculan KAA; apakah ada hubungan politik bebas dan aktif dalam kemunculan KAA; apa warisan KAA dalam bidang kebudayaan dan ekonomi – sebab wacana yang diperdebatkan KAA tidak hanya terkait dengan politik, tapi juga ekonomi dan kebudayaan; mengapa pasca KAA banyak sekali gerakan solidaritas transnasional yang muncul dari kalangan profesional-aktivis: mahasiswa, pengarang, buruh, wartawan, juris, sampai feminis; dan apakah Bandung Spirit masih relevan dalam gerakan-gerakan aktivisme masa kini dalam masalah lingkungan, gender, dan teknologi. Saya pikir untuk melihat apakah KAA merupakan landmark yang berpengaruh dan daya juangnya masih relevan dalam politik dunia, salah satu caranya adalah mengkajinya terus-menerus secara ilmiah dan tidak menempatkannya semata-mata secara romantic.
Image: Wildan Sena Utama. Penulis Buku: "KONFERENSI ASIA – AFRIKA 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Anti-imperialisme"
(HI.id): Apakah anda bersedia jika ada yang ingin menghubungi anda untuk berdiskusi terkait karya anda “KAA 1955 – Asal Usul Intelektual dan Warisannya Bagi Gerakan Global Antiimperialisme?
(WSU): Silakan hubungi email saya wsutama@ugm.ac.id.
(HI.id): Terima kasih atas kebersediaan anda menjawab pertanyaan dari tim HubunganInternasional.id. Kami berharap yang terbaik bagi karya anda. Bagi pembaca yang ingin pesan buku “KAA 1955 – Asal Usul Intelektual dan Warisannya Bagi Gerakan Global Anti-imperialism” silakan klik di sini
Resensi Buku
“KONFERENSI ASIA – AFRIKA 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme”
Peresensi : Nadia Dian Ardita
Editor : Randhi Satria
Konferensi Asia Afrika atau KAA merupakan sebagai salah satu peristiwa sejarah yang tidak boleh untuk dilupakan begitu saja. Salah satu alasan mengapa KAA masih perlu dikaji hingga saat ini adalah studi sejarah transnasional mengenai jalinan politik antara Indonesia dengan dunia internasional. Dengan mengkaji KAA melalui perspektif sejarah, warga negara Indonesia ataupun masyarakat internasional dapat mengetahui bagaimana proses dan substansi tujuan KAA dibentuk. Pada tahun 1950-an, terdapat 29 negara di Asia dan Afrika yang baru merdeka mengadakan suatu pertemuan di Bandung, tepatnya pada tanggal 18 hingga 24 April 1955 di Bandung. Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk membangun suara dalam membendung kolonialisme dan imperialisme Barat serta membentuk solidaritas di antara mereka.
Alasan negara-negara di kawasan Afrika dilibatkan dalam KAA selain kesadaran politik dalam memerangi kolonialisme dan membendung Perang Dingin juga karena adanya kesadaran historis, yakni adanya jaringan atau interaksi antara intelektual Asia Afrika. Tokoh-tokoh seperti Hatta yang masih menjadi aktivis Perhimpunan Indonesia atau Nehru yang menjadi punggawa India National Congress sebelum menjadi negarawan dan masih menjadi aktivis anti-kolonial mereka sudah membangun jaringan. Setelah terselenggaranya KAA, Bandung diibaratkan menjadi tempat yang istimewa bagi negara-negara di Afrika karena momentum di kota tersebut telah membuat mereka terbebas dari kolonialisme yang dilakukan oleh Barat.
Buku ini memberikan informasi pengetahuan mengenai sejarah terbentuknya KAA 1955 di Bandung dengan gaya bahasa yang menarik sehingga membuat para pembaca seolah-olah berada dalam situasi sejarah maupun hal yang sama. Selain itu, buku ini menyajikan sejarah KAA kronologis dan jelas serta memberikan data-data berupa cuplikan pidato serta dokumentasi berupa foto yang membuat pembaca menjadi tidak bosan ketika membaca lembar demi lembar. Buku ini mampu memberikan sudut pandang baru dari berbagai negara yang terlibat di KAA maupun konferensi lain sebelum dan sesudah terselenggaranya KAA. Pembaca juga akan semakin memahami bagaimana pentingnya KAA bagi negara di Asia Afrika. Gejolak-gejolak perpolitikan digambarkan dengan jelas salah satunya dapat dilihat ketika para delegasi KAA menyampaikan maksud maupun tujuan mereka dalam pidatonya.
Image: Nadia Dian Ardita. Persensi
Buku ini penting untuk menjadi salah satu referensi mengenai peran Indonesia dalam kancah internasional ketika kemelut Perang Dingin sedang terjadi. Kita dapat memahami makna-makna dari setiap tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin dunia dalam mengambil keputusan ataupun sikap dalam menghadapi suatu persoalan internasional. Selain itu, buku ini akan mengajak kita merenungkan kembali mengenai makna dari penyelenggaraan peringatan-peringatan KAA yang memiliki kecenderungan hanya mengenang peristiwa KAA saja. Sebaiknya kita harus memahami mengenai nilai-nilai yang ada di KAA itu sendiri agar tidak memunculkan suatu romantisme dalam memandang KAA. Dapat dilihat bahwa hingga saat ini masih banyak negara-negara di Asia dan Afrika yang belum sepenuhnya merasakan ‘kebebasan’ dari blok yang ada di dunia. Dengan demikian, buku ini mengajak kita untuk kembali menyalakan Bandung Spirit agar negara-negara di Asia-Afrika dapat bersaing dengan negara-negara maju serta menunjukkan eksistensi yang lebih di kancah internasional.
Surakarta, 18 Mei 2019
Nadia Dian Ardita
(Mahasiswi Hubungan Internasional Semester 6 Universitas Sebelas Maret Surakarta)