Demokrasi dan Moral Politik

  • Dec 2, 2018
  • /
  • Buku
  • /
  • Admin
  • 7111

Demokrasi saat ini menjadi sangat popular di berbagai belahan dunia. Adanya hak-hak “istimewa” yang memberikan kesempatan setara kepada setiap warga negaranya baik di mata Negara secara politik, hukum, ekonomi dan sosial menjadi nilai tawar yang kuat jika harus dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Dalam hal kehidupan berpolitik misalnya, demokrasi dianggap mampu menjaga berjalannya politik yang bersih dan bermartabat. Hal ini tentunya dimungkinkan karena dalam demokrasi kita mengenal yang namanya trias politica yang membatasi kekuasaan agar tidak bertumpuk pada satu orang/kelompok pemegang kekuasaan. Dengan adanya pembagian kekausaan hal ini memungkinkan terjadinya check and balance antar lembaga-lembaga Negara. Tentunya harapan dari semua itu adalah terciptanya politik yang lebih bermoral demi kebaikan bangsa dan masyarakat yang ada di dalamnya.

Pada kesempatan kali ini, Alifia Yumna Amri Mahasiswi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Satya Wacana akan membahas sebuah buku karangan Dr. Ahmad Sahide, S.IP., M.A yang berjudul “Demokrasi dan Moral Politik”. Penulis buku ini merupakan salah satu dosen yang aktif mengajar di Program Magister Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Mari simak wawancara dan resensinya di bawah ini!

Alifia Yumna Amri (AYA): Apa yang melatarbelakangi anda untuk menulis kasus-kasus dari berbagai macam essay terkait demokrasi dan moral politik, khususnya di Indonesia?

Ahmad Sahide (AS): Saya menulis esai sejak awal kuliah Strata 1 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Saya mengasah kemampuan menulis dengan esai-esai. Dengan esai saya bisa merekam dan menganalisis peristiwa yang terjadi dari waktu ke waktu. Seiring dengan berjalannya waktu, saya sadar bahwa menulis esai penting karena bagian cara menjaga api ingatan sejarah. Kelak orang-orang akan mengerti apa yang terjadi pada waktu tertentu dengan membaca esai saya. Buku “Demokrasi dan Moral Politik” adalah lanjutan esai saya yang juga sudah saya terbitkan, yaitu “Kebebasan dan Moralitas”, terbit tahun 2010 dan 2013, kemudian “Kekuasaan dan Moralitas”, terbit tahun 2016. Tahun 2019 rencananya akan mempublish esai lanjutan dari buku ini.

(AYA): Melalui buku ini anda banyak membahas politik Indonesia pada masa SBY. Bagaimana kemudian pandangan anda terkait (demokrasi) Indonesia dibawah kepemimpinan SBY?

(AS): Tidak ada pemimpin yang sempurna di dunia ini. Selalu saja ada ketidakpuasan publik terhadap pemimpin itu. Dan SBY mengakhiri periode kepemimpinannya dengan tingkat kepuasan publik di atas 50 persen. SBY berhasil mengantarkan Indonesia dalam mengonsolidasikan demokrasi kita, tetapi banyak catatan buruk yang ditinggalkan SBY. Bank Century, Hambalang, dan beberapa kasus lainnya yang tentu akan dikenang oleh rakyat. SBY dipilih secara demokratis, tetapi beberapa langkah politiknya tidak demokratis, contohnya ketika dia merebut kursi ketua Umum Demokrati dari Anas Urbaningrum, kemudian juga merangkap sebagai ketua Dewan Kehormatan dan juga Ketua Dewan Pembina. Pada hakikatnya, ini kan tidak ada pembagian kekuasaan di internal Demokrat. Semua terpusat pada sosok SBY. Bagi saya, itu tidak demokratis.

(AYA): Hal apa yang membuat anda tertarik untuk menelisik kasus-kasus yang menurut saya mencoreng nama bangsa?

(AS): Itu penting untuk kita abadikan sebagai bahan pembelajaran, sehingga ke depan tidak ada yang mengulangi. Perjalanan bangsa harus kita abadikan dan cara saya melakukan itu adalah dengan esai berkelanjutan.

Image: Ahmad Sahide. Penulis Buku Demokrasi dan Moral Politik

(AYA) Hal apa yang ingin anda bangun melalui interpretasi pembaca, menggunakan bahasa-bahasa yang anda gunakan?

(AS): Sederhana saja, saya ingin pembaca tahu bahwa pada tanggal sekian di tahun sekian, ada peristiwa yang terjadi yang terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selebihnya, saya berikan kebebasan kepada pembaca untuk memberikan tafsir lain dari peristiwa yang saya rangkum dengan esai saya.

(AYA): Menurut anda, apakah masih relevan apabila DPR tetap ada dalam tatanan pemerintah di Indonesia?

(AS): Itu jelas. DPR bagian dari Trias Politika untuk mengontrol dan mengawasi jalannnya roda pemerintahan agar supaya kebijakan yang diambil tetap bermuara pada kepentingan rakyat. Sayangnya, peran ini tidak berjalan dengan maksimal. Partai politik saling mengunci dan transaksi politik lebih dominan. Jika anggota DPR kita tidak menyadari hal ini, maka tunggu saja ‘hukuman’ rakyat itu akan datang padanya.

(AYA): Dalam dunia Internasional, seberapa besar peran media dalam mempengaruhi kebijakan suatu pemerintahan negara superpower terhadap negara less power?

(AS): Pemberitaan media tentu menjadi sangat penting dalam memengaruhi kebijakan yang diambil oleh setiap Negara di dunia. Kasus Jamal Khashoggi, jurnalis dan warga Negara Arab Saudi yang terbunuh di Istanbul mempengaruhi konstelasi politik dan ekonomi internasional. Arab Saudi terkucilkan karena peran pemberitaan media, beberapa negara mengecam.

Image: Ahmad Sahide. Penulis Buku Demokrasi dan Moral Politik

(AYA): Sebesar apa demokrasi dan moral politik negara adidaya, dalam mempengaruhi kesejahteraan negara – negara lain yang terinterdependensi dengan negaranya?

(AS): Bahkan di Amerika sendiri, sebagai negara superpower dan dikenal sebagai kampiun demokrasi menghasilkan pemimpin seperti Donald Trump dari sebuah proses yang demokratis. Dan Amerika juga menerapkan standar ganda dalam kebijakan politik luar negerinya yang juga acap kali melanggar nilai dan etika berdemokrasi.


RESENSI BUKU: DEMOKRASI DAN MORAL POLITIK

Pemberi Resensi: Alifia Yumna Amri
Editor: Flavianus D. Melsasail

Demokrasi dan Moral Politik, khususnya di Indonesia menjadi hal yang menarik untuk ditelisik. Demokrasi sendiri seringkali menjadi kata yang diagung-agungkan dalam perpolitikan di Indonesia. Demokrasi lekat dengan keinginan masyarakat dan sebenarnya juga berkaitan erat dengan kehendak “pemerintah”, pemerintah memiliki peran yang cukup besar terhadap terealisasikannya atau tidak kebutuhan rakyat. Semakin bertambahnya usia negara kita Indonesia, rakyat semakin sadar bahwa menjadi seorang individu di suatu negara yakni INDONESIA tidak cukup hanya mempercayakan masa depan bangsa terhadap jabatan-jabatan pemerintah. Semenjak munculnya Twitter dan Facebook nampaknya peran pemerintah telah tergantikan, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) kini tak lagi menjadi penyambung lidah, keluh kesah dan derita rakyat Indonesia. Rakyat semakin cerdas mengkritisi kebijakan dan alur pemerintahan berdasarkan fakta-fakta yang ada, serta kerja nyata pemerintah yang seringkali bisa dikatakan “tidak ada”. DPR online adalah sebutan bagi sosial media semacam twitter dan facebook yang cukup menjadi tren pada masanya. Informasi yang tersedia pada laman sosial media tersebut lebih cepat dilihat rakyat, lebih cepat dipahami masyarakat yang seolah tersakiti. Besarnya minat rakyat Indonesia dalam menggunakan sosial media mampu memberikan berbagai macam citra pemerintahan dan mampu menekan pemerintahan untuk tidak mengeluarkan kebijakan- kebijakan tertentu termasuk rencana membangun fasilitas kantor pemerintahan di Senayan dengan budget yang begitu fantastis. Rakyat tidak akan menghina pemerintahan dengan kursi dan dekorasi ruang rapat yang sederhana, karena bagi rakyat pejuang adalah seberapa besar pengorbanan yang telah dilakukan dan sebanyak apa perubahan positif yang telah dihasilkan.

Dalam sebuah kasus seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), belum tentu DPR benar-benar mampu menyampaikan jeritan rakyat. Namun DPR online yang ditulis secara langsung oleh para rakyat nampaknya mampu menekan pemerintah untuk tidak mengeluarkan kebijakan dengan menaikan harga BBM, dari hal semacam itu kemudian sosial media memiliki perannya tersendiri dalam menyampaikan aspirasi. Selain adanya DPR online peran mahasiswa menjadi hal yang cukup menarik dalam menyuarakan dan meramaikan kata demokrasi dalam perpolitikan negeri ini. Pasalnya, mahasiswa dianggap sebagai golongan intelek yang memiliki gagasan maupun ide-ide untuk menyuarakan apa yang terbaik untuk bangsa ini. Sayangnya, semakin hari peran mahasiswa tidak terlihat lagi. Mahasiswa bukan lagi mereka yang berpendidikan dengan segudang ilmu melalui buku-buku, bukan lagi mereka yang berdiskusi dan mencari banyak solusi. Tapi, mahasiswa yang sibuk tergerus oleh milenial, kecanduan barang-barang digital dan tak lagi berani berbicara frontal. Mahasiswa merupakan salah satu bagian dari institusi pendidikan, yang diharapkan tidak hanya sekedar diajarkan tetapi dididik untuk menjadi yang terbaik dalam bagian masa depan bangsa. Sayangnya, institusi pendidikan kini bukanlah suatu tempat yang mendidik atau menciptakan moral, justru telah rusak oleh tindakan penyelewengan. Banyak ditemukan penjualan ijazah, plagiarisme bahkan dilakukan oleh tokoh-tokoh yang dianggap memiliki tataran yang cukup tinggi seperti profesor maupun doktor.

Image: Alifia Yumna Amri. Mahasiswi Hubungan Internasional

Moral Politik Indonesia seharusnya dibangun dari pendidikan yang merupakan dasar terciptanya etika dan terciptanya budaya malu, kesalahan sistem pendidikan menciptakan budaya tersendiri bagi perpolitikan salah satunya adalah budaya korupsi, dimana tidak ada lagi rasa malu dan menjadikannya terlihat aneh jika perpolitikan tidak diikuti dengan kegiatan korupsi. Indonesia bisa dikatakan mengalami krisis perpolitikan, korupsi dimulai bahkan sejak pertama kali dana dianggarkan. Institusi pemberantas korupsi juga tidak luput dari serangan para koruptor, beberapa kali para pemerintah yang kenyang dengan “hasil rampasan” mengajukan dan mengkaji ulang Undang-Undang (UU) yang mengatur mengenai kebijakan dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK) tapi mengalami penolakan. Hal ini karena, MK percaya bahwa, hanya orang-orang korup yang ingin membubarkan KPK.

Pembubaran tidak hanya mengancam KPK, tapi partai politik korup bisa saja dibaubarkan dengan melakukan dua hal yakni secara politik dan hukum. Dalam sejarah, Indonesia telah memiliki catatan membubarkan parpol secara politik pada masa Orde Baru (ORBA) namun hal ini dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Dari catatan sejarah tersebut, bahwa partai politik (parpol) yang dibubarkan belum tentu merupakan parpol yang korup. Terkait dengan kuasa rakyat, sebagai negara yang mengagungkan demokrasi, sebenarnya Indonesia bisa saja menggulingkan parpol dengan cara tidak memilih partai-partai yang memiliki catatan sejarah sebagai parpol korup.

Berbicara mengenai perpolitikan, tentu saja tidak jauh dari aktor para elit politik, citra politik yang mempengaruhi interpretasi masyarakat mengenai berbagai hal salah satunya adalah kata “blusukan”. Blusukan menjadi hal yang wajar dilakukan oleh salah satu mantan walikota Solo yang saat ini menjabat sebagai presiden. Namun, hal berbeda justru terlihat dari penilaian masyarakat jika hal itu dilakukan oleh SBY. SBY terkenal dengan citra politik yang ia buat, sehingga hal ini kemudian membangun interpretasi rakyat mengenai dirinya. Selian citra politik yang ia buat, SBY juga terkenal dengan bahasa politiknya yang penuh dengan penolakan apabila merasa tersaingi, sangat politis dan tersirat kalimat-kalimat dengan tujuan yang jelas. Beberapa diantaranya dapat dilihat dari penolakannya terhadap Jusuf Kalla, saat akan melakukan pemilihan periode kedua. Jusuf Kalla dianggap sebagai wakil presiden yang juga beberapa kali dianggap melanggar kebijakan presiden. Jusuf Kalla memiliki kekuatan dan ketegasan dalam mengambil keputusan, hal ini kemudian mendapatkan penolakan dari SBY. SBY memberikan beberapa syarat yang tidak bisa dipenuhi oleh Jusuf Kalla terkait posisinya, SBY akan mencari wakil yang bukan merupakan pemimpin parpol. Jusuf Kalla menyadari hal itu, meski sebenarnya ia ingin tetap berkolaborasi dengan SBY. Sehingga pada pemilu kedua, Jusuf Kalla berkolaborasi dengan Wiranto. Jika ditelisik lebih dalam mengenai latar belakang Jusuf Kalla, ia merupakan keturunan Makassar Bugis. Asal usul tersebut nampaknya juga memiliki pengaruh terhadap moral politik Indonesia, sirri na pesse merupakan salah satu tindakan yang dijunjung terkait “perlawanan yang dilakukan apabila martabatnya dilanggar, tanpa rasa dendam”. Hal inilah yang dilakukan Jusuf Kalla dalam rangka membuktikan dirinya terhadap SBY pada pemilu putaran kedua.

Tidak hanya Jusuf Kalla, SBY juga melakukan penolakan terhadap Anas Urbaningrum pasca dirinya terlibat dalam kasus korupsi. Dalam bahasa politiknya, SBY mengatakan bahwa “segala bentuk kewenangan Partai Demokrat hanya ada ditangan ketua partai dan SBY mengijinkan Anas untuk menemui dan menyelesaikan kasus hukum yang menjeratnya” artinya adalah SBY tidak ingin ada orang yang sama berkuasanya dalam jabatannya.

Politik di Indonesia memiliki banyak warna, selain aktor yang menduduki jabatan tertinggi. Indonesia juga memiliki perpolitikan yang menarik terkait pilkada di Jawa Barat. Para calon pemimpin yang mencalonkan diri justru banyak dipenuhi oleh artis papan atas, perpolitikan yang terjadi bukanlah kontestasi visi misi sebagai ide dan gagasan melainkan kontestasi popularitas. Disamping itu ada banyak hal lucu yang kemudian terjadi, ketika salah satu menteri perlindungan HAM yang kemudian melakukan tindak kekerasan terhadap penjaga pintu rumah tahanan dengan alasan harus menunggu 5 menit untuk dibukakan pintu. Hal ini dianggap kurang etis apabila seorang menteri harus menunggu. Kembali lagi jika melihat derita rakyat, untuk sekedar berobat mereka harus menunggu lama bahkan tanpa mendapatkan pelayanan apapun. Begitulah potret negeri ini, dipenuhi dengan berbagai macam kebudayaan-kebudayaan baru. Kebudayaan tidak hanya timbul dari latar belakang dan tindakan para aktornya, tapi produk asing nampaknya memiliki peran tersendiri. Salah satunya adalah munculnya produk HP dengan merk blackberry. Kemunculan produk blackberry sebagai alat komunikasi nampaknya juga turut memberikan kelas-kelas sosial, tidak hanya pada masyarakat namun juga terhadap pemerintahan. Pemerintah dengan menjaga privasinya khususnya terkait koordinasi mengenai dana korupsi, mereka menciptakan bahasa-bahasa baru seperti “Apel Malang” dan “Apel Washington” sebagai penyebutan mata uang Rupiah dan Dollar. Kebudayaan dapat dikatakan berkembang, salah satunya adalah dengan bertambahnya kosakata dari bangsa itu sendiri. Indonesia juga memiliki perkembangan kebudayaan, sayangnya budaya ini berkembang dari kasus korupsi.

Kesimpulan

Demokrasi di suatu wilayah negara khususnya di Indonesia selalu diwarnai dengan latar belakang dan pola pikir masyarakatnya, hal ini juga terjadi pada moral politik suatu wilayah negara. Demokrasi dan moral politik yang terjadi, memiliki keterkaitan terhadap adanya latar belakang kebudayaan suatu individu yang berperan didalamnya. Hal ini terutama tercermin pada pemimpin atau pejabat elit politik di suatu wilayah tertentu. Perkembangan teknologi khususnya sosial media dan perkembangan alat komunikasi yang semakin canggih, turut mempengaruhi demokrasi dan moral politik suatu negara, hal ini karena sosial media dan alat komunikasi menjadi perantara yang memiliki peran bahkan mampu menggeser politikus yang menjabat di kursi pemerintahan.

Salatiga, 1 Desember 2018

Pemberi Resensi,


Alifia Yumna Amri
(Mahasiswi Semester 5 Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Satya Wacana)

Sebagai penutup, salah satu keistimewaan demokrasi adalah memberikan kebebasan berekspresi serta menyuarakan pendapat kepada warga Negara. Hal ini memungkinkan warga Negara untuk membentuk pressure group dan aktif melakukan control terhadap jalannya pemerintahan. Melalui jalan inilah mahasiswa/mahasiswi dapat memiliki keleluasaan untuk menjaga pemerintahan agar tetap “waras” dan bermoral. Jaga demokrasi kita, jaga moral politiknya, jaga Indonesia! Selamat menikmati kebebasan bersuara

Bagi pembaca yang berminat memesan buku Demokrasi dan Moral Politik dapat memesan dengan cara menghubungi pihak publisher di thephinisipress@yahoo.com


About The Author

Comments