Analisis Strategis AS, Eropa, dan Tiga Tahun Perang Rusia-Ukraina
- Mar 16, 2025
- /
- Opini
- /
- Admin
- 138
24 Februari 2025 menjadi momentum sejarah yang memilukan dan sarat akan ketidakpastian. Perang Rusia-Ukraina telah berlangsung tiga tahun, terhitung sejak 24 Februari 2022, ketika Kremlin melancarkan apa yang disebut sebagai “operasi militer khusus”, yang kini telah berkembang menjadi salah satu perang paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia Kedua.
Image: Source
Namun, menjelang tahun keempat, situasi telah berubah secara dramatis dan tidak terduga. Pada Rabu (12/2/25), Donald Trump mengumumkan kabar yang mengejutkan publik, bahwa ia telah berbicara dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, melalui panggilan telepon yang disebut berlangsung “panjang dan sangat produktif”. Ini menjadi pembicaraan pertama yang dikonfirmasi oleh kedua pemimpin, hanya beberapa minggu sejak Trump kembali ke Gedung Putih dan memulai masa jabatan keduanya sebagai Presiden AS ke-47 (Haberman et.al, 2025).
Dalam sebuah unggahan di platform Truth Social, Trump mengatakan bahwa upaya untuk mengakhiri perang di Ukraina menjadi satu di antara sejumlah topik utama yang mereka bahas.
“Namun pertama-tama, seperti yang kami berdua sepakati, kami ingin menghentikan jutaan kematian yang terjadi dalam perang,” tulis Trump.
Sebagai tindak lanjut dari pembicaraan ini, perundingan tingkat tinggi antara delegasi AS dan Rusia digelar di Riyadh, Arab Saudi, pada Selasa (18/2/25). Selain menjadi upaya pemulihan hubungan dan eksplorasi kerja sama ekonomi kedua negara, perundingan ini juga menandai upaya pemerintahan Trump untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina (Lee & Litvinova, 2025).
Image: Source
Namun, di tengah dinamika yang mengiringi, muncul sebuah pertanyaan: apa saja aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam perkembangan terbaru perang Rusia-Ukraina setelah tiga tahun?
Melemahnya Isolasi Internasional terhadap Rusia
Selama tiga tahun terakhir, AS di bawah pemerintahan Biden telah secara konsisten memimpin upaya internasional dalam mengisolasi Rusia, dengan menjatuhkan sejumlah sanksi ekonomi. Data terakhir pada Januari 2025 menunjukkan bahwa AS, Inggris, Uni Eropa bersama dengan Australia, Kanada, dan Jepang, telah menjatuhkan lebih dari 21.000 sanksi terhadap Rusia (Castellum, 2025). Bahkan, dalam sepuluh hari terakhirnya di Gedung Putih, Biden terus memperketat tekanan ekonomi ini dengan memberlakukan sanksi pemblokiran terhadap dua perusahaan minyak terbesar di Rusia. Selain itu, lebih dari 180 kapal tanker pengakut minyak Rusia juga menjadi subjek sanksi yang membatasi pendapatan energi negara itu (Martin, 2025).
Namun, kembalinya Trump ke Gedung Putih membawa perubahan besar dalam pendekatan AS terhadap konflik ini. Dalam langkah yang mengejutkan sekutu-sekutu AS di Eropa, percakapan telepon Trump dan Putin menandai titik balik dan pergeseran signifikan dalam upaya tersebut.
Bagi Putin, langkah semacam ini menunjukkan sinyal kuat akan melemahnya isolasi internasional, yang telah berlangsung sejak Rusia menginvasi Ukraina. Lebih dari itu, normalisasi hubungan Washington-Moskow pasca pertemuan di Riyadh, secara simbolis juga semakin memperjelas retaknya solidaritas di antara sekutu translantik terkait perang di Ukraina. Situasi ini meninggalkan Uni Eropa dan Ukraina dalam kekhawatiran, meskipun masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa keduanya dikesampingkan dalam perundingan.
Sejak masa kampanye, Trump sering kali menggambarkan dirinya sebagai satu-satunya pemimpin, baik di AS maupun dunia, yang mampu mencegah Rusia melakukan agresi militer ke negara lain. Dalam satu dekade terakhir, hubungan antara Washington dan Moskow memang tidak pernah seakomodatif ketika Trump menjabat sebagai presiden AS. Berbeda dengan para pendahulunya, Trump tidak jarang secara terbuka memuji Putin, kontras dengan pernyataan terbarunya yang menyebut Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, sebagai seorang "diktator".
"Seorang diktator tanpa pemilu, Zelenskyy lebih baik bergerak cepat atau dia tidak akan memiliki negara lagi," tulis Trump dalam unggahannya di Truth Social pada Rabu (19/2/25). Ia kemudian menambahkan, "Sementara itu, kami berhasil menegosiasikan untuk mengakhiri perang dengan Rusia—sesuatu yang semua mengakui hanya 'TRUMP,' dan pemerintahannya yang dapat melakukannya. Biden tidak pernah mencoba, Eropa gagal membawa perdamaian,”.
Meskipun begitu, ini bukan berarti bahwa Trump dapat dengan mudah dianggap sebagai seorang pro-Rusia begitu saja, sebagaimana klaim kaum liberal dan media sayap kiri di AS. Sebaliknya, kasus ini lebih menunjukkan bahwa nilai-nilai solidaritas dan pendekatan multilateral tidak lagi menjadi prioritas dalam kebijakan luar negeri AS. Hal ini sangat jelas ketika dibandingkan dengan pendahulunya seperti Barrack Obama yang mendukung revolusi Ukraina pada 2014 atau Joe Biden yang selalu merangkul Uni Eropa ketika berhadapan dengan masalah Ukraina. Lebih lanjut, meski Trump berupaya mengevaluasi ulang peran AS untuk NATO dan Ukraina, kebijakan ini lebih didorong oleh populisme domestik ketimbang upaya sistematis untuk menata ulang strategi diplomasi dan kebijakan luar negeri AS (Boehl, 2025).
Ketidakpastian Dukungan AS untuk Ukraina
Sejak awal perang, Kongres AS sendiri telah meloloskan lima paket bantuan dengan total otorisasi anggaran sebesar $175 miliar. Meski bantuan mencakup dukungan bagi pengungsi, lembaga penegak hukum, dan media independen Ukraina, mayoritas anggaran dihabiskan untuk membayar pabrik di AS yang memproduksi senjata untuk Ukraina atau untuk mengisi kembali stok senjata AS telah ditarik Pentagon selama perang. Sebuah analisis dari American Enterprise Institute juga menemukan bahwa bantuan Ukraina mendanai manufaktur pertahanan di lebih dari tujuh puluh kota di AS (Masters & Merrow, 2025).
Namun, besarnya alokasi dana ini memicu kritik tajam, terutama dari Trump yang telah lama mengecam miliaran dolar yang AS habiskan untuk bantuan pertahanan NATO dan Ukraina. Trump, sering kali membandingkan kebijakan tersebut dengan berbagai permasalahan domestik, seperti imigran ilegal dan peredaran narkotika yang menurutnya lebih mendesak untuk ditanggulangi. Di bawah slogan "America First", kebijakan AS kini menunjukkan arah isolasionisme yang semakin jelas, dengan indikasi kuat bahwa dukungan finansial dan militer untuk Eropa dan Ukraina akan dikaji ulang secara signifikan.
Di Konferensi Keamanan Munich yang diselenggarakan pada 14-16 Februari 2025, Wakil Presiden AS, JD Vance menggarisbawahi desakan Trump agar negara-negara Eropa mengeluarkan lebih banyak kontribusi untuk pertahanan mereka sendiri dan untuk setiap kesepakatan damai terkait Ukraina di masa mendatang. AS meminta agar anggota NATO meningkatkan anggaran pertahanan menjadi 5 persen dari PDB.
Lebih dari itu, pidato Vance juga semakin memperjelas ketidakharmonisan hubungan AS-Eropa di bawah kepemimpinan Trump. Alih-alih meyakinkan sekutu-sekutunya terkait komitmen AS untuk Ukraina, Konferensi Keamanan Munich justru menjadi panggung bagi Vance untuk menyerang para pemimpin Eropa. Ia menuding bahwa Eropa telah menekan kebebasan bicara dan gagal dalam mencegah gelombang imigrasi ilegal yang pada gilirannya dapat mengancam keberlangsungan kemitraannya dengan AS.
“Yang saya khawatirkan adalah ancaman dari dalam,” tutur Vance, menegaskan bahwa ancaman keamanan Eropa bersumber dari masalah-masalah domestiknya.
Image: Source
Absennya pembasahan terkait Ukraina dalam pidato Vance telah menimbulkan kekecewaan di kalangan sekutu Eropa, terutama karena perang ini masih menjadi tantangan utama geopolitik di kawasan tersebut. Banyak pihak menilai bahwa prioritas dalam kebijakan luar negeri AS telah mengalami pergerseran, di mana dukungan AS untuk Eropa dan Ukraina menjadi semakin tidak pasti. Pada gilirannya, ketidakpastian komitmen Washington terhadap Kyiv mendesak para pemimpin Eropa untuk menentukan langkahnya sendiri dalam menghadapi tantangan ini.
Dihadapkan dengan potensi melemahnya dukungan AS, para pemimpin Eropa memulai pembicaraan terkait upaya untuk memperkuat pertahanan kawasan dan memastikan keberlanjutan dukungan bagi Ukraina. Inggris dan Prancis telah menyatakan kesediannya untuk mengirim pasukan ke Ukraina, sedangkan Uni Eropa tengah berupaya membangun kapasitas pertahanan kolektif, meskipun butuh bertahun-tahun untuk sepenuhnya mandiri dari AS. Namun, ketidaksenadaan di antara negara-negara ini masih menjadi tantangan, dengan Hungaria yang diperkirakan akan menolak bantuan tambahan untuk Ukraina (Smialek, 2025).
Konsesi Perdamaian yang Transaksional
Tiga tahun Perang Rusia-Ukraina juga memberikan tantangan yang tidak mudah bagi komunitas internasional. Bagaimanapun, menciptakan dan memelihara situasi yang mendukung rekonstruksi negara dengan wilayahnya yang telah porak-poranda adalah pekerjaan yang lebih berat ketimbang sekadar mengakhiri permusuhan di medan pertempuran.
Tantangan ini dapat menjadi lebih berat dan kompleks ketika pihak-pihak gagal mencapai kesepakatan yang adil, belajar dari konsekuensi atas gagalnya perjanjian Perang Dunia Pertama yang membuat dunia kembali dilanda perang besar. Dengan kata lain, konsesi yang menguntungkan atau memberatkan satu pihak, baik Rusia atau Ukraina, dapat memicu ketidakstabilan baru, bahkan yang terburuk dapat mengakibatkan terulang kembalinya perang.
Jika merujuk pada skenario tersebut, situasi ini tampak mengkhawatirkan mengingat dalam masa jabatan kedua Trump—yang belakangan sering disebut ‘Trump 2.0’—menandai awal dari dimulainya diplomasi transaksional dalam kebijakan luar negeri AS (Madhani, 2025). Meski Trump berulang kali menyatakan ketidaksetujuannya terhadap miliaran dolar yang AS kirimkan untuk Ukraina, ia tampaknya tidak akan serta-merta meninggalkan Kyiv begitu saja.
Dengan pendekatan transaksional ala Trump, Washington, sebaliknya akan berupaya menuntut kompensasi atas dukungan yang selama ini telah diberikan kepada Ukraina, termasuk dukungan lebih lanjut pada fase rekonstruksi pascaperang. Tidak dapat dipungkiri bahwa Ukraina sangat bergantung pada AS tidak hanya dalam dukungan finansial dan persenjataan, namun juga dalam hal jaminan keamanan guna mencegah potensi agresi lebih lanjut dari Rusia.
Pada Senin (4/2/25), Trump mengindikasikan keinginannya untuk mencapai kesepakatan dengan Ukraina guna memperoleh akses terhadap sumber daya tanah jarang negara tersebut. Tanah jarang menjadi komoditas yang sangat dibutuhkan dalam berbagai sektor teknologi dan industri, termasuk peralatan medis, teknologi militer, kedirgantaraan, serta energi bersih. Ukraina sendiri memiliki pasokan tanah jarang yang signifikan, yang diperkirakan menyumbang sekitar 5 persen dari keseluruhan cadangan tanah jarang dunia (UNRIC, 2025).
"Saya ingin memiliki keamanan tanah jarang. Kami telah mengalokasikan ratusan miliar dolar. Mereka memiliki cadangan tanah jarang yang besar. Dan saya menginginkan keamanan atas sumber daya tersebut, dan mereka bersedia melakukannya." Ujar Trump.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Trump berupaya memanfaatkan ketergantungan Ukraina untuk memperoleh keuntungan ekonomi bagi AS. Akses terhadap pasokan tanah jarang Ukraina ini akan menjadi aset strategis bagi Washington, yang saat ini tengah berupaya membangun rantai pasokan global guna mengurangi ketergantungan terhadap Cina—negara yang selama ini mengendalikan sebagian besar pasokan bahan ini di pasar global (John, 2025).
Image: Source
Sementara itu, Zelensky mengatakan pihaknya mulai berkomunikasi dengan pemerintahan Trump, tetapi diskusi itu berada pada "tingkat umum,". Meskipun begitu, ia yakin bahwa pertemuan langsung akan segera diadakan untuk menegosiasikan kesepakatan yang lebih rinci.
Kesediaan Kyiv untuk memberikan AS akses ke mineralnya akan menentukan apakah AS mengakhiri semua dukungan untuk negara itu atau tidak, karena perangnya dengan Rusia mendekati awal tahun keempatnya. Di satu sisi, Zelensky tidak lagi mempunyai banyak waktu, dengan Rusia yang perlahan tapi pasti terus menguasai inci demi inci teritori (Arhirova, 2024).
Selain itu, menarik juga untuk menanti langkah apa yang akan dilakukan sekutu Eropa dan Inggris. Sebagai pihak yang selalu menempatkan dirinya sebagai penjaga nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan Ukraina, Uni Eropa dan Inggris kini dihadapkan dengan tantangan besar tentang apakah mereka mampu mengisi kekosongan yang mungkin akan ditinggalkan oleh AS.
Pada akhirnya, dalam ketidakpastian ini, masa depan Ukraina akan sangat bergantung pada sejauh mana dukungan internasional tetap terjaga dan bagaimana Zelensky mengelola diplomasi Ukraina di tengah situasi geopolitik Eropa yang semakin genting dan tidak menentu.
Referensi:
Arhirova, H. (2024, November 18). Russia grinds deeper into Ukraine after 1,000 days of grueling war. AP News. https://apnews.com/article/ukraine-russia-war-f7f56e494df1dbbcdec1853001796c45
Boehm, E. (2025. Februari 2). How the Past 4 American Presidents Helped Escalate Tensions in Ukraine. Reason. https://reason.com/2022/02/25/how-the-past-4-american-presidents-helped-escalate-tensions-in-ukraine/
Castellum. (2025, Januari 19). Russia Sanctions Dashboard. https://www.castellum.ai/russia-sanctions-dashboard
Haberman, A., Kanno-Youngs, Z. & Troianovski, A. (2025, Februari 12). Trump Says Call With Putin Is Beginning of Ukraine Peace Negotiations. The New York Times. https://www.nytimes.com/2025/02/12/us/politics/trump-putin-call-russia-ukraine-war.html
John, A. (2025, Februari 27). Why the Trump administration may want Ukraine’s minerals. AP News. https://apnews.com/article/climate-trump-united-states-ukraine-minerals-57c6c566b330c8941a3ba6a7d5f8dd2f
Lee, M. & Litvinova, D. (2025, Februari 19). Russia and US agree to work toward ending Ukraine war in a remarkable diplomatic shift. AP News. https://apnews.com/article/russia-ukraine-war-riyadh-talks-trump-putin-rubio-0c3beebfef5839e9d509ff58239a6bc5
Madhani, A. (2025, Maret 9). Trump’s transactional approach to diplomacy is a driving force on the world stage. AP News. https://apnews.com/article/trump-transactional-diplomacy-tariffs-russia-ukraine-canada-e70f0e800b1c7891a0fa4f21a28c67af
Martin, M. (2025, Februari 19). What have U.S. sanctions on Russia achieved since the war in Ukraine began?. NPR. https://www.npr.org/2025/02/19/nx-s1-5290058/what-have-u-s-sanctions-on-russia-achieved-since-the-war-in-ukraine-began
Masters, J. & Merrow, W. (2025, Maret 6). Here’s How Much Aid the United States Has Sent Ukraine. Concil on Foreign Relations. https://www.cfr.org/article/how-much-us-aid-going-ukraine
Smialek, J. (2025, Maret 2). Europe Is Left With Hard Choices as Trump Sours on Ukraine. The New York Times. https://www.nytimes.com/2025/03/02/world/europe/ukraine-trump.html
UNRIC. (2025, Februari 20). Rare earths and strategic minerals in Ukraine. https://unric.org/en/rare-earths-and-strategic-minerals-in-ukraine/
Penulis: Rizky Yunas Saputra (Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Jenderal Soedirman)
Email: Rizkyyunas26@gmail.com
Editor: Tim hubunganinternasional.id