Kebangkitan Cina: Sebuah Analisis dari Perspektif Konstruktivisme dalam Hubungan Internasional

  • Apr 2, 2024
  • /
  • Artikel
  • /
  • Admin
  • 1129

Dalam kajian Hubungan Internasional (HI), kebangkitan China sebagai kekuatan global seringkali dianalisis melalui lensa materialistik seperti kekuatan ekonomi dan militer. Namun, perspektif konstruktivisme menawarkan pandangan yang lebih mendalam, menggarisbawahi peran ide, identitas, dan norma dalam membentuk dinamika kekuasaan global. Artikel ini berupaya menguraikan trajektori China menuju status sebagai hegemon baru, dengan mengintegrasikan kerangka konstruktivisme untuk memahami tantangan yang dihadapinya (Wendt, 1992).


Latar Belakang Kebangkitan Cina
Reformasi ekonomi yang diinisiasi pada akhir tahun 1970-an telah mentransformasi China menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia. Namun, dari perspektif konstruktivisme, kebangkitan ini tidak hanya didorong oleh faktor material tetapi juga oleh perubahan ideologis dan pembentukan identitas baru China sebagai pemain global (Johnston, 2008). Inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI) tidak hanya strategi ekspansi ekonomi tetapi juga alat untuk mengekspor nilai dan norma China, menciptakan tatanan internasional yang lebih kondusif bagi kepentingannya (Callahan, 2004).


Pilar Kekuatan Cina
Konstruktivisme menekankan bahwa kekuatan sebuah negara tidak hanya diukur dari kapasitas militer atau ekonominya, tetapi juga dari kemampuannya dalam mempengaruhi norma dan ide internasional. Kemajuan China dalam teknologi dan inovasi bukan hanya meningkatkan kapasitas domestiknya tetapi juga menempatkannya sebagai pemimpin dalam norma global teknologi (Zhao, 2005). Demikian pula, ekspansi militernya di Asia Pasifik lebih dari sekedar peningkatan kekuatan material; itu adalah upaya untuk mendefinisikan ulang norma keamanan regional (Buzan, 2010). Melalui diplomasi dan soft power, Cina berusaha membangun identitas sebagai pemimpin global yang bertanggung jawab, meskipun ini seringkali bertentangan dengan persepsi negara-negara lain (Kurlantzick, 2007).


Tantangan yang Dihadapi Cina sebagai Hegemon Baru

Dalam menjadi hegemon, China tidak hanya menghadapi tantangan material tetapi juga perjuangan dalam mendefinisikan ulang norma dan nilai internasional. Konstruktivisme menunjukkan bahwa hegemoni bukan hanya tentang dominasi tetapi juga kemampuan untuk membentuk konsensus global seputar norma dan aturan (Ikenberry, 2008). Persaingan dengan Amerika Serikat dan negara-negara lain bukan hanya pertarungan atas pengaruh ekonomi atau militer tetapi juga atas ide dan identitas yang dominan (Peerenboom, 2007). Tantangan internal seperti isu demografis dan lingkungan membutuhkan China untuk menegosiasikan kembali identitasnya sendiri, mencari keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlanjutan (Economy, 2010). Secara internasional, skeptisisme terhadap inisiatif seperti BRI menunjukkan resistensi terhadap usaha China untuk menormalkan pengaruhnya, menunjukkan batas dari soft power dalam membentuk konsensus global (Lampton, 2008).


Kesimpulan dan Implikasi
Melalui lensa konstruktivisme, kebangkitan China dipahami tidak hanya sebagai fenomena material tetapi juga sebagai proses kompleks pembentukan norma, identitas, dan konsensus global. China berada di persimpangan yang menantang, di mana ia harus menavigasi dinamika internal dan eksternal untuk membangun hegemoni yang tidak hanya didasarkan pada kekuatan tetapi juga pada legitimasi dan penerimaan global. Bagi pemangku kepentingan internasional, interaksi dengan China memerlukan pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika ide dan norma, menyarankan strategi yang lebih nuansa dalam diplomasi dan kerjasama internasional. Dalam konteks ini, masa depan tatanan global tergantung tidak hanya pada kebijakan dan kapasitas material tetapi juga pada kemampuan untuk membentuk dan berbagi ide dan nilai yang membentuk dunia kita.

Referensi
Wendt, A. (1992). Anarchy is what states make of it: The social construction of power politics. International Organization, 46(2), 391-425.


Johnston, A. I. (2008). Social states: China in international institutions, 1980-2000. Princeton University Press.


Callahan, W. A. (2004). National insecurities: Humiliation, salvation, and Chinese nationalism. Alternatives, 29(2), 199-218.


Zhao, S. (2005). China’s pragmatic nationalism: Is it manageable? Washington Quarterly, 29(1), 131-144.


Buzan, B. (2010). China in international society: Is ‘peaceful rise’ possible? The Chinese Journal of International Politics, 3(1), 5-36.


Economy, E. C. (2010). The river runs black: The environmental challenge to China’s future. Cornell University Press.


Lampton, D. M. (2008). The three faces of Chinese power: Might, money, and minds. University of California Press.


Ikenberry, G. J. (2008). The rise of China and the future of the West: Can the liberal system survive? Foreign Affairs, 87(1), 23-37.


Kurlantzick, J. (2007). Charm offensive: How China’s soft power is transforming the world. Yale University Press.


Peerenboom, R. (2007). China modernizes: Threat to the West or model for the rest? Oxford University Press.




Penulis: Arif Darmawan (Dosen Hubungan Internasional Universitas Jendral Soedirman)

Email: arif.darmawan@unsoed.ac.id

Editor: Tim Hubungan Internasional Indonesia


About The Author

Comments